Bisnis.com, JAKARTA - Meskipun sebagian eksportir batu bara telah mengubah atau sekadar menambah asuransinya dengan asuransi nasional, penerapan kewajiban asuransi nasional yang telah berlaku sejak 1 Februari 2019 dinilai masih perlu dikaji kembali.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan dalam masa percobaan selama satu bulan ini, pemerintah sebenarnya telah aktif menjalin komunikasi dengan negara-negara importir seperti Jepang dan Korea Selatan dan dijadwalkan berlanjut dengan China dan India. Dengan proses sosialisasi yang masih berjalan, Hendra menilai kewajiban penggunaan asuransi nasional idealnya tidak langsung diterapkan.
"Harusnya jangan langsung diterapkan dan ada penundaan lagi karena waktunya mepet sekali," katanya, Rabu (27/2/2019).
Dia menuturkan jarak antara terbitnya petunjuk teknis yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan dengan waktu penerapan pun sangat berdekatan. Menurutnya, hal tersebut mempersulit eksportir untuk melakukan persiapan.
Seperti diketahui, petunjuk teknis Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag mengenai beleid tersebut yang diterbitkan pada 16 Januari 2019 atau dua pekan sebelum kewajiban penggunaan asuransi nasional diterapkan pada 1 Februari 2019.
Sebelumnya, CEO PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat mengatakan sulit tidaknya kewajiban penggunaan asuransi tersebut sangat tergantung dari penjajakan yang tengah dilakukan para pembeli. Hal itu dikarenakan hampir seluruh transaksi ekspor dilakukan dengan skema FOB.
"Yang harus mengasuransikan kan pembeli. Rata-rata mereka sudah mulai menjajaki lah dengan asuransi nasional," ujarnya.
Seperti diketahui, Permendag No. 82/2017 mewajibkan penggunaan kapal dan asuransi nasional untuk ekspor batu bara dan CPO dengan tujuan mendorong industri asuransi dan logistik nasional. Beleid yang diundangkan pada 31 Oktober 2017 itu awalnya akan dijalankan secara efektif enam bulan setelah terbit, yakni 1 Mei 2018.