Bisnis.com, JAKARTA - Penguasaan 51 % PT Freeport Indonesia setelah 51 tahun Freeport McMoRan menguasai 90,4% PTFI berdampak positif bagi pemasukan negara.
Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Angota Tim Anti Mafia Migas, menyebutkan pelunasan transaksi senilai US$3,85 miliar atau setara Rp55,8 triliun oleh Inalum kepada Freeport McMoRan menandai secara resmi dan syah bagi Indonesia untuk menguasai mayoritas 51 % PT Freeport Indonesia (PT FI), setelah 51 tahun Freeport McMoRan menguasai 90,4% PT FI.
Sejak 1971 hingga November 2018 Indonesia hanya menguasai minoritas saham PT FI sebesar 9,6% saja.
Fahmy menjelaskan transaksi senilai US$ 3,85 miliar itu bukanlah untuk membeli tambang milik bangsa Indonesia sendiri, melainkan untuk membeli saham Freeport McMoRan di PT FI, yang kala itu menguasai mayoritas 90,4%.
"Berdasaarkan perjanjian Kontrak Karya (KK) antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoRan (G2B) generasi kedua yang ditandatangani Pemerintahan Orde Baru pada 1997, PT FI diberikan hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi Tambang Grasberg di Bumi Papua, yang akan berakhir pada 2021. Sebagai imbalannya, Pemerintah Indonesia memperoleh saham sebesar 9,6%, royalty antara 1%-3%, dan pajak," ujarnya.
Fahmy menambahkan sebagai pemilik pertambangan, saat itu pendapatan Pemerintah Indonesia jauh lebih kecil ketimbang pendapatan Freeport McMoRan.
"Pendapatan dari deviden dengan porsi kepemilikan saham yang jauh lebih kecil, itu pun sering kali deviden tidak dibagikan dengan alasan laba ditahan. Demikian juga dengan perolehan dari royalty dan pajak yang diterima Pemerintah Indonesia masih sangat kecil,"ujar Fahmy dalam pernyataan tertulisnya, diterima Minggu (23/12/2018).
Ia menambahkan bahwa perolehan pendapatan dari deviden, royalty dan pajak yang masih sangat kecil itu lantaran Pemerintah Indonesia hanya menguasai saham minoritas sebesar 9,6%.
"Oleh karena itu, Pemerintahan Jokowi-JK sejak awal sudah bertekat untuk menguasai mayoritas 51% saham PT FI agar pendapatan yang diterima bisa jauh lebih besar," tambah Fahmy.
Ia menggambarkan setelah melalui proses perundingan yang panjang dan alot, Freeport dan Pemerintah akhirnya menyepakati perubahan kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dalam hal ini terdapat tiga syarat yakni smelterisaasi, Divestasi 51% Saham Freeport, dan pendapatan yang lebih besar dari Royalty dan Pajak.
Momen Divestasi
Fahmy menggambarkan mengapa pengambilalihan saham Freeport tidak dilakukan saat KK berakhir pada 2021.
"Pengambilan pada 2021 tidak lah gratis, bahkan biayanya lebih mahal ketimbang harga divestasi 51% Saham Freeeport. Perjanjian KK berbeda dengan kontrak pada sektor minyak dan gas bumi (migas), yang Blok Migas dan Asetnya harus diserahkan kepada Pemerintah pada saat kontrak berakhir, dan Pemerintah bisa menyerahkannya kepada Pertamina," ujarnya.
Perjanjian KK, lanjut Fahmy, membatasi pemerintah Indonesia untuk mengambil alih Freeport tanpa alasan yang “wajar” dan harus disepakati kedua belah pihak.
"Jika kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri KK, maka Pemerintah Indonesia harus membeli semua aset, peralatan dan teknologi dengan nilai buku. Hasil appresial lembaga keungan internasional, nilai buku seluruh aset Freeport ditaksir sebesar US$6 miliar, jauh lebih mahal dibanding harga divestasi 51% saham Freeeport yang hanya sebesar US$ 3,8 miliar."
Pendapatan Negara
Fahmy menambahkan dengan penguasaan 51% Saham PTFI, pendapatan deviden yang akan diperoleh Pemerintah jauh lebih besar dibanding saat menguasai saham hanya sebesar 9,6%.
"Dengan Earning After Tax (EAT) yang dibukukan PTFI rata-rata sebesar US$ 2,8 miliar per tahun, maka deviden yang diterima bisa mencapai sebesar US$ 1,4 miliar (0,51 X US$ 2,8 miliar) per tahun," ujarnya.
Dengan demikian, Pay Back Period (waktu pengembalian dana) divestasi 51% saham Freeport sebesar US$ 3,8 miliar, akan kembali dalam waktu 3 tahun.
"Setelah itu, Indonesia akan memperoleh pendapatan utuh sekitar US$ 1,4 miliar, yang 10% dibagikan kepada Pemerintah Daerah Papua, masih ditambah pendapatan dari royalty dan pajak.
Fahmy meyakini divestasi 51% saham PT FI merupakan opsi terbaik, rasional dan terjangkau dibandingkan dengan opsi nasionalisasi atau pengambilalihan pada 2021.