Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah perlu bertindak tegas pada travel agent ilegal maupun asing yang menjual paket wisata Tanah Air di bawah rerata harga standar.
Untuk diketahui, pariwisata Bali dijual murah yang diduga dilakukan para pengusaha asal China yang bekerja sama dengan travel agent ilegal.
Para turis asal China ini diajak untuk berbelanja ke toko-toko milik pengusaha asal China yang juga menjual produk-produk asal China namun diklaim sebagai produk khas Bali atau Indonesia.
Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawi Bahar mengatakan pemerintah perlu mengatur tata niaga para pelaku usaha pariwisata di Tanah Air. Pasalnya, kejadian pariwisata Bali yang dijual murah ini memang ada celah yang digunakan agen ilegal atau asing melakukan pendekatan kepada turis dan menjual destinasi Tanah Air.
"Jangan biarkan lagi paket wisata Indonesia ini dijual murah, memang turis China ini penyumbang nomer 1 kunjungan wisman di Indonesia tetapi harus diatur," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (25/10/2018).
Apabila pemerintah tak menindak tegas maka akan terjadi kejadian serupa di kemudian hari dan tentu mengeruk perolehan yang menjadi devisa Indonesia.
Dia juga meminta agar Pemerintah mengatur produk impor yang masuk ke Tanah Air mengikuti dan memiliki standar nasional secara kualitas.
"Banyak barang dari China di Indonesia yang tak berizin dan kualitasnya di bawah standar," ucap Asnawi.
Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) PHRI Rainier Daulay menambahkan penindakan tegas sesuai hukum yang berlaku diperlukan agar ke depannya tak ada lagi yang dirugikan. Selain itu, pemerintah diminta mendata kembali pelaku usaha baik dari penjual suvenir, guide hingga travel agent yang ada di Indonesia.
"Ini harus didata dan pemerintah harus menindak tegas tenaga kerja ilegal seperti guide dan penjaga toko. Toko yang ilegal segel saja," katanya.
Langkah Nyata
Menanggapi hal itu, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan pihaknya telah memulai pendataan seluruh travel agent yang ada di Indonesia. Selain itu juga perlu dilakukan register ulang agen travel asing yang masuk ke Indonesia sehingga akan lebih mudah memonitor mana saja yang curang.
Lebih lanjut lagi, Arief menuturkan wisata Bali yang dijual murah itu merupakan praktik zero dollar tour kunjungan wisman asal China ke Bali.
"Zero dollar tour ini enggak hanya terjadi di Bali, ini terjadi di seluruh dunia," ucapnya.
Praktik ini merujuk pada kedatangan turis China ke Bali yang membeli paket wisata melalui agen perjalanan wisata di negara mereka dengan harga sangat murah.
Harga paketnya diduga hanya senilai biaya tiket perjalanan Denpasar-China sehingga terlihat sangat menguntungkan wisatawan yang membeli paket tetapi selama di Bali para wisatawan inipun diwajibkan mengikuti jadwal tur yang telah ditetapkan agen travel.
Para wisatawan juga dibawa berbelanja di tempat yang telah ditentukan dan sudah terafiliasi dengan agen wisata yang menawarkan paket zero dollar tour. Harga barang-barang yang ditawarkan jauh lebih tinggi dan dengan metode pembayaran nontunai dengan aplikasi dari negeri Panda itu.
Saat ini, lanjut Arief, pihaknya telah menyiapkan tiga skenario untuk mengatasi masalah zero dollar tour di Bali yakni dengan pemberlakuan batas bawah agar industri di Bali survive dan tidak terperangkap pada persaingan harga murah.
Lalu, pelarangan sistem kartel yakni dengan melakukan pembatasan kunjungan ke kartel toko yang dimiliki warga negara originasi dalam hal itu toko dengan kepemilikan warga China.
"Selain itu ada agen travel baik Indonesia dan China harus teregistrasi dengan baik di kedua negara agar tak ada kesan negatif," ujar Arief.
Perlu Kunjungan
Kementerian Pariwisata menegaskan industri pariwisata di Bali masih membutuhkan wisatawan dari China karena banyaknya pasokan jumlah akomodasi yang ada.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara I Gde Pitana menekankan persoalan wisatawan China sekarang ini bukan terkait daya beli mereka yang rendah, melainkan masalah adanya penipuan dan usaha ilegal.
Menurutnya, pengeluaran wisawatan China meskipun lebih rendah dibandingkan turis Australia, Jepang dan Eropa, tetapi lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Singapura.
“Jadi bukan mereka tidak punya uang, pengeluaran wisman china setiap kedatangan US$1.018 per orang, jauh dari turis Singapura US$600 per orang dan Malaysia sekitar US$700 per orang. Ini bukan soal harga tapi soal tata niaga dimana terjadi penipuan pemerasan dan terjadi karena usaha ilegal,” jelasnya di sela-sela FGD Pasar Turis Tiongkok, di Kuta pada Kamis (25/10/2018).
Pitana menekankan anggapan bahwa turis China murah merupakan hal yang salah. Pasalnya, harga murah juga berlaku untuk turis Singapura, Malaysia maupun Australia yang hipies dan tidur di homestay.
Dia menegaskan Bali membutuhkan turis-turis tersebut untuk mengisi ribuan pondok wisata milik rakyat Bali.
Permasalahan yang muncul saat ini terkait isu jual beli kepala turis China adalah persoalan tata niaga. Di setiap segmen turis yang mengalami booming, masalah itu selalu bermunculan. Sama ketika booming turis Australia pada era 1970-an, hal serupa juga terjadi. Kemudian pada 80-an, terjadi pula untuk wisatawan Jepang dan berulang kembali pada 90-an ketika wisatawan Taiwan masuk.
“Pada 70-an juga terjadi kekacauan tata niaga turis Australia karena hipies. Jadi Kuta dulu disebut khusus turis Australia karena wisatawan yang miskin-miskin di sana. Harus diakui bahwa tata niaga kita belum siap,” paparnya.
Menurutnya, yang harus dilakukan saat ini terkait praktik jual beli kepala adalah tindakan tegas dari pemerintah daerah.
Dia mengungkapkan Kemenpar Indonesia dan China National Tourism Administration (CNTA) sudah melakukan perjanjian mengenai siapa saja yang bisa membawa turis China ke Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, hanya agen wisata berlisensi yang boleh menangani turis China.
Adapun yang terjadi di Bali saat ini adalah agen perjalanan tidak berlisensi ikut memanfaatkan bisnis. Karena itu, Pitana mengharapkan ada tindakan tegas dari pemerintah daerah agar masalah praktik jual beli kepala ini dapat segera diselesaikan.
“Harus lakukan monitoring yang rajin dan kalau ada pelanggaran harus tegas. Kalau soal komisi dari jaman dulu begitu. Bukan hanya pasar China saja, semua lakukan komisi dan itu hal lumrah terjadi. Kalau ilegal ya tertibkan. Sejak otonomi daerah kewenangan perizinan dan akomodasi usaha itu di kabupaten kota,” paparnya.
Pitana menekankan sudah menjadi dalil ketika ada pasar baru tumbuh akan terjadi permasalahan. Indonesia dalam hal ini sedang dalam proses penataan khususnya bagi pasar China.
Dia menilai kejadian ini harus menjadi pelajaran dan bukan justru menyalahkan China melainkan menata tata niaga pariwisata di Tanah Air.