Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat kemaritiman dari National Maritime Institute (Namarin) mengimbau Kementerian Perhubungan lebih transparan dalam mengungkapkan data kontainer yang tak laik pakai sesuai hasil survei Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub pada 2014 – 2015.
Direktur Namarin, Siswanto Rusdi, mengatakan transparansi menyangkut hasil survei Kemenhub itu penting mengingat data itu menyebutkan terdapat 80% kontainer yang beredar di Indonesia untuk kegiatan ekspor impor ataupun antar pulau/domestik tidak laik pakai.
"Yang diteliti atau disurvei Kemenhub itu peti kemas siapa? Harus dibedakan peti kemas milik pelayaran dan peti kemas milik perusahaan penyewaan peti kemas. Kalau tidak transparan seperti ini, bisa memancing reaksi pelayaran global sekelas CMA-CGM dan Maersk Line," ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (30/8/2018).
Oleh karena itu, lanjutnya, Data Kemenhub yang 80% kontainer tidak laik itu harus dibuka secara gamblang, apalagi kondisi ini terkesan sudah ditutup-tutupi lebih dari 3 tahun mengingat survei itu dilakukan pada periode 2014-2015.
Kemenhub mengungkapkan sekitar 80% kontainer yang digunakan untuk kegiatan pengapalan ekspor impor dari dan ke Indonesia maupun untuk kegiatan antarpulau/domestik, dalam kondisi tidak laik pakai.
Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Hermanta mengatakan penilaian kondisi itu didapat setelah dilakukan survei oleh Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub pada 2014 – 2015.
"Berdasarkan survey Ditjen Hubla itu, ternyata hanya 20 persen kontener yang lalu lalang di Indonesia yang laik pakai, sedangkan 80 persen-nya kondisinya memprihatinkan alias tidak laik pakai karena rusak dan tidak memenuhi standar," ujarnya saat membuka acara publikasi Peraturan Menteri Perhubungan No. 53/2018 tentang Kelaikan Peti Kemas dan Berat Kotor Peti Kemas Terverifikasi di Jakarta pada Kamis (30/8/2018).
Siswanto juga menyoroti inspeksi dan verifikasi peti kemas sesuai PM 53/2018 itu lantaran peti kemas milik perusahaan pelayaran global juga sudah dilakukan inspeksi dan verifikasi oleh pihak yang kompeten.
"Karena itu seharusnya dalam kaitan peti kemas milik pelayaran glial ini semestinya pihak Kemenhub sifatnya cukup endorsement aja dan yang perlu dipolototi peti kemasnya itu yang milik nonpelayaran," tutur Siswanto.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro mempertanyakan apakah kegiatan inspeksi dan verifikasi peti kemas sesuai dengan beleid terbaru itu apakah dapat diterima oleh shipping line global atau main line operator (MLO).
"Yang menjadi masalah adalah pelayaran global atau MLO itu bisa terima tidak dengan hasil inspeksi yang dilakukan didalam negeri oleh badan surveyor karena hal ini pernah coba dilakukan tapi pelayaran nolak hasilnya dan tetap saja pemilik barang dikenakan biaya repair dan cleaning peti kemas," ujarnya.
Toto mengatakan seharusnya shipping global/MLO yang layani pengangkutan ekspor impor Indonesia diajak bicara. Kalau diwakili Indonesian National Shippowners Association (INSA) saja, para pelayaran asing itu tidak mau patuh atas regulasi di dalam negeri.