Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dilema Pertumbuhan vs Stabilitas Ekonomi, Impor Barang Konsumsi Jadi Korban

Pemerintah mengakui sulit tetap mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan yang tinggi akan menimbulkan tekanan pada stabilitas.
Cadangan devisa dan neraca perdagangan RI semester pertama 2018./Bisnis-Radityo Eko
Cadangan devisa dan neraca perdagangan RI semester pertama 2018./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mengakui sulit tetap mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan yang tinggi akan menimbulkan tekanan pada stabilitas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pada akhirnya pemerintah dihadapkan pada trade off atau posisi dimana pemerintah harus mengorbankan salah satu aspek antara stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

"Di satu sisi, kita tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, tetapi kalau dengan pertumbuhan ekonomi ada beberapa hal yang menimbulkan tekanan sehingga dia perlu di-address, kita akan coba menangani tekanan itu tanpa merusak momentum. Kadang trade off sulit, sehingga kita akan melakukan rekalibrasi terus-menerus," ungkapnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (27/8/2018).

Dia melanjutkan, intinya pemerintah ingin menjaga keseimbangan supaya pertumbuhan ekonomi tetap tercapai sementara stabilitas tetap terjaga. Kondisi ini menjadi salah satu hal yang dia nilai sulit.

Oleh karenanya, Kemenkeu saat ini tengah berkoordinasi dengan Menko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Bank Indonesia dalam rangka menindaklanjuti hasil sidang kabinet di mana Presiden Joko Widodo meminta kabinetnya menjaga kerawanan ekonomi yang berasal dari faktor eksternal.

Seperti diketahui, pemerintah tengah memacu pertumbuhan ekonomi untuk dapat mencapai target 2018 di angka 5,2%. Target tersebut sudah jauh dari gembar-gembor awal Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang mencanangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7%.

Di tengah usaha menggerakkan pertumbuhan ekonomi tersebut, Indonesia dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi karena faktor global, yakni kenaikan suku bunga AS Fed Fund Rate (FFR), eskalasi perang dagang antara AS dan China serta kekhawatiran krisis ekonomi di Turki yang merambat ke negara-negera emerging

Pemerintah lalu meresponnya dengan menyiapkan berbagai kebijakan yang diarahkan guna menyelamatkan neraca transaksi berjalannya yang tengah defisit mencapai 3% dari PDB. Belum lagi, neraca perdagangan per Juli 2018 defisit mencapai US$3,09 miliar.

Impor Barang Konsumsi

Respon tersebut salah satunya dengan mengaji ulang kebijakan impor barang konsumsi. Berdasarkan data BPS, Impor barang konsumsi Januari-Juni 2018 tumbuh 21,6% (ytd) menjadi USD8,18 miliar, sedangkan pada periode yang sama tahun 2017 hanya USD6,72 miliar.

Lalu, yang menjadi sasaran adalah 900 komoditas barang konsumsi yang diimpor sesuai data yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.132/2015 dan PMK 34/2017.

Selain itu, pemerintah juga akan berhat-hati dalam menerapkan instrumen yang bisa diberlakukan terhadap barang impor konsumsi tersebut agar tidak menjadi persoalan masa depan. Maklum, pasar internasional tengah panas, sedikit salah kebijakan, Indonesia bisa dianggap turut serta perang dagang.

"Apa melalui PPh impor yang bisa dikreditkan atau bea masuk, kita sangat sadar hal ini sangat bermasalah di tataran internasional. Walaupun sekarang banyak langkah-langkah yang dilakukan negara maju untuk meningkatkan tarif secara sepihak," papar Sri Mulyani.

Dia menegaskan pemerintah akan tetap menjaga agar kebijakannya tetap dapat proporsional sehingga tercipta suatu keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas.

Kemenkeu sudah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna memperhatikan hambatan dari industri-industri dalam negeri terutama dari akses permodalan.

Dia pun berharap agar industri dalam negeri nantinya melihat upaya pembatasan impor ini sebagai kesempatan untuk mengembangkan bisnisnya.

"Prinsip utamanya mereka [impor barang konsumsi yang ditahan] tidak memengaruhi investasi, ekspor, dan sudah diproduksi dalam negeri, sehingga pengaruh ke masyarakatnya kecil. Bahkan, bisa positif karena kita berharap industri dalam negeri bisa menggunakan kesempatan ini dengan baik," harapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper