Bisnis.com, JAKARTA – Petani sawit rakyat mendesak regulator agar secepatnya mencarikan jalan keluar untuk masalah rendahnya harga beli tandan buah segar komoditas itu serta sulitnya petani mendapatkan sertifikat dan dana pendamping.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan dengan tegas harga beli tandan buah segar (TBS) yang diterima petani swadaya tidak adil dibandingkan dengan petani plasma.
"[Kami meminta] anjloknya harga jual TBS perlu menjadi perhatian pemerintah, karena petani swadaya menerima perlakuan tidak adil meskipun ada penetapan harga TBS sawit oleh pemerintah,"kata Rino Afrino, Wakil Sekretaris Jendral Apkasindo, Selasa (7/8).
Rino mengungkapkan harga TBS di tingkat petani swadaya cenderung rendah. Rata-rata harga TBS di tingkat petani swadaya berkisar Rp 800—Rp 900 per kg.
Berdasarkan catatan Apkasindo tren penurunan harga juga terjadi di sejumlah sentra produsen sawit, seperti di Kalimantan. Harga TBS petani swadaya yang tidak bermitra dengan perusahaan berada di kisaran Rp800—Rp 1.100 per kg. Sementara harga TBS petani plasma yang bermitra dengan perusahaan lebih mahal di kisaran Rp 1.500 per kg.
Menurut Rino, perlakuan seperti ini adalah yang kerap kali terjadi di lapangan dimana pembelian TBS dari petani swadaya lebih murah daripada petani plasma yang menjadi mitra perusahaan. Padahal aturan tentang harga pembelian TBS sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Maka sebab itu, Rino meminta perhatian pemerintah supaya peningkatan harga TBS di tingkat petani swadaya dapat segera terwujud. Selain itu dia menuding tim yang menetapkan harga TBS kerap tidak berpihak pada petani dan pihak pabrik pun seringkali menghargai TBS dengan murah oleh pabrik karena hasil panen petani dikumpulkan terlebih dahulu melalui pengepul.
Selain itu, persoalan lain yang dihadapi petani yaitu kesulitan mendapatkan akses permodalan di perbankan. Menurutnya pemerintah memang cekatan membagikan sertifikat tanah, tapi masih banyak juga petani sawit yang belum dapat memperoleh sertifikat tanah.
Menurut Rino, banyak lahan petani yang dimasukkan menjadi kawasan hutan kendati usia kebun sudah puluhan tahun lamanya. "Kami juga minta pemerintah memberikan solusi untuk penyelesaian masalah sertifikat ini," imbuhnya.
Tanpa adanya sertifikat, maka petani tidak akan bisa ikut program replanting yang semenjak tahun lalu telah diresmikan Presiden Joko Widodo. Menurut Rino, sertifikat menjadi penting untuk memperoleh dana pendamping, di luar dana hibah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit untuk program replanting. Dana replanting yang dikucurkan BPDP sawit kepada petani sebesar Rp 25 juta per hektare.
"Kalau tidak ada sertifikat, petani sulit mengikuti syarat sertifikasi ISPO. Karena direncanakan bersifat wajib bagi petani,"jelas Rino.
Ketua Harian Apkasindo Amin Nugroho pun menambahkan terkait permentan 1/2018 seharusnya harga TBS petani mendapatkan perlakuan sama baik swadaya maupun plasma. Menurutnya dengan rata-rata harga TBS yang diterima petani swadaya sebesar Rp 800 per kg, membuat pendapatan petani semakin mengecil karena biaya produksi petani sekitar Rp600 per kg.
Sementara itu, Kepala Divisi Usaha Kecil Menengah dan Koperasi UKMK Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Helmi Muhansyah juga mengakui bahwa pihaknya terus mendorong agar petani sawit skala UKM terus meningkatkan produksi mereka melalui program replanting. "BPDPKS sawit akan memberikan bantuan yang dibutuhkan petani sawit," pungkasnya.