Bisnis.com, JAKARTA – Pengumuman Bank Indonesia tentang relaksasi aturan Loan to Value (LTV) berdasarkan siaran pers bank sentral pada 29 Juni 2018 menyiratkan kesungguhan pemerintah untuk memberi stimulasi yang kuat guna memudahkan pemilikan rumah atau apartemen untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pertama.
Selain itu juga memberi stimulus bagi kemudahan pembayaran/disbursement kepada pengembang dalam bentuk pembayaran inden bagi pengembang. Dibandingkan dengan sebelumnya, regulasi ini lebih baik.
Kedua hal ini meskipun dikenakan kepada dua pihak yang berbeda tetapi berpengaruh besar pada pembentukan dan penyerapan pasokan—permintaan (supply—demand), khususnya perumahan dan apartemen.
Dalam kaitan itu terdapat dampak yang akan terjadi bagi sektor properti dan perbankan.
Pertama, akan terjadi peningkatan permintaan rumah dan apatemen dengan KPR Pertama karena khususnya pada potensi dari mereka yang membutuhkan rumah atau apartemen dengan KPR Pertama akan memanfaatkan kemudahan yang diberikan dalam hal pembayaran uang muka sangat longgar. Disisi lain bank perlu tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.
Kedua, akan terjadi peningkatan KPR dengan adanya kemudahan, khususnya bagi KPR Pertama dan sedikit banyak akan mengurangi besarnya cicilan ke pengembang dalam jangka panjang yang dilakukan pengembang (in house financing).
Pasalnya, sejak diberlakukannya LTV pada 2013 terpaksa pengembang melakukannya. Hal ini tidak saja memberatkan pengembang tetapi juga konsumen (LTV 70% dan pencairan saat rumah jadi).
Ketiga, pelonggaran sistem inden sampai KPR ke 5 manambah aturan inden 2 KPR yang sudah diatur berdasarkan aturan inden pada 2016 akan membantu arus dana pengembang dengan urutan termin yang telah disusun.
Keempat, dengan bertumbuhnya pembeli KPR Pertama dan adanya kemudahan pembayaran inden bagi pengembang, hal ini akan meningkatkan skala pengembangan perumahan dan apartemen.
Kondisi ini pada gilirannya akan berpotensi meningkatkan penyerapan lapangan kerja bagi 174 industri yang terkait dengan sektor properti sebagai efek berganda pembangunan perumahan dan apartemen. Tak dapat disangkal lagi inilah produk yang terkena dampak langsung dari kebijakan pelonggaran LTV dan inden 2018.
Kelima, bank diharapkan akan terus memperkecil non-performing loan (NPL) mengingatt kebijakan pelonggaran LTV dan pembayaraan inden kepada pengembang baru ini hanya berlaku buat bank dengan NPL dibawah 5%.
Dengan demikian secara umum kebijakan relaksasi ini berpotensi besar meningkatkan tingkat permintaan dan juga pasokan perumahan maupun properti, khususnya apartemen di Indonesia. Lebih khusus lagi pada segmen yang membutuhkan rumah atau apartemen dengan KPR Pertama.
Untuk tidak mereduksi dampak positif dari kebijakan relaksasi ini dengan kondisi saat ini maka perbankan sangat diharapkan tidak menaikkan suku bunga, khususnya bunga KPR pada saat Sertifikat Bank Indonesia (SBI) turun. Bukankah seharusnya perbankan menurunkan tingkat bunga?
Perlu diketahui juga bahwa net interest margin bank di Indonesia adalah tertinggi di kawasan Asean dalam kondisi likuiditas yang cukup. Apalagi bila deposito yang jumlahnnya diperkirakan mencapai ribuan triliun rupiah itu diinvestasikan ke sektor riil, termasuk pembelian properti yang didukung oleh kebijakan relaksasi ini, maka ekonomi diharapkan bergulir lagi.
Dengan perkiraan diatas tentunya dampak kenaikan suku bunga acuan BI sebagai respon pemerintah atas melemahnya nilai tukar rupiah dan berbagai dampaknya diharapkan dapat dikompensasikan oleh pertumbuhan di sektor property, khususnya rumah dan apartemen yang akan berpotensi menggerakkan ekonomi melalui dampak berganda berupa penyerapan lapangan kerja serta penggunaan bahan bangunan lokal.
Di masa datang, kebijakan terkait LTV dan sistem inden perlu disempurnakan. Dengan mencermati latar belakang pengaturan LTV di awal adalah mengurangi jumlah KPR yang diambil seseorang sampai 29 KPR.
Selain itu juga untuk mengatasi pengembang nakal yang tidak membangun setelah memperoleh pencairan dana dan beberapa tujuan lain demi menjaga sistem keuangan dalam koridor kehati-hatian.
Peringkat Pengembang
Disisi lain pengereman jumlah KPR sudah berjalan. Namun perlakuan atas pengembang nakal pada periode 2013 ternyata dilakukan melalui pengaturan yang gebyah-uyah. Satu pengaturan untuk semua pengembang. Oleh karena itu aturan LTV yang dirilis pada 2013 sangat memberatkan.
Untuk ke depan dan juga dalam jangka panjang dapat dipertimbangkan adanya semacam ‘peringkat pengembang’ yang didasarkan pada tingkat kehati-hatian mereka dan tingkat pemenuhan kewajiban utama kepada konsumen.
Misalnya, tingkat kehati-hatian dijabarkan dengan data-data tingkat kemacetan kredit pengembang. Semakin tidak macet, semakin tinggi peringkatnya. Selain itu kewajiban utama terhadap konsumen dijabarkan dengan pemenuhan janji membangun kepada konsumen. Semakin menepati janji membangun kepada konsumen, semakin tinggi peringkatnya.
Semua pengembang bisa diurutkan berdasarkan peringkat, apakah mereka skala besar atau kecil sekalipun.
Pemeringkatan ini bisa memanfaatkan data perusahaan pengembang yang ada dan masukan dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (REI).
Selanjutnya, dari peringkat pengembang disusun reward berjenjang sesuai dengan pencapaiannya. Misalnya untuk peringkat tertinggi diberikan fasilitas tanpa inden (akad kredit langsung cair), sehingga sangat membantu arus dana pengembang.
Dengan demikian pengembang akan berlomba-lomba untuk memegang prinsip prudent dan pro konsumen, sehingga dapat masuk peringkat tertinggi. Sebaliknya pengembang nakal diberi sanksi oleh asosiasi dan perbankan.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (18/7/2018)