Bisnis.com, JAKARTA — Seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang mengerek harga jual alat kesehatan, rumah sakit swasta yang sebelumnya rajin berekspansi saat ini justru menahan diri.
“Sejumlah rumah sakit sempat meminta proposal penawaran. Namun, akibat selisih kurs sampai sekarang banyak yang memilih menunda [melakukan pengadaan alat kesehatan],” kata Kartono Dwidjosewojo, Ketua Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), Rabu (4/7/2018).
Melemahnya nilai tukar rupiah hingga awal Juli 2018 ini di luar perkiraan pengusaha alkes. Akibatnya, sejumlah pengusaha alat kesehatan memilih menunggu sampai gejolak nilai tukar mereda agar produk yang mereka jual dapat diterima pasar.
“Kalau ini dibiarkan dan tidak ada dukungan pemerintah, bukan tidak mungkin usaha anggota harus tutup dan memberhentikan pekerjanya mulai awal tahun depan,” imbuh Kartono.
Berdasarkan data Gakeslab, saat ini terdapat 400 perusahaan yang terdaftar sebagai anggota asosiasi. Selain itu, dari 250.000 nomor izin produk alkes, produk yang terdaftar dalam e-Catalog baru mencapai 16.667 nomor izin edar.
Di sisi lain, pengusaha alat kesehatan meminta pemerintah melakukan negosiasi ulang harga alat yang mereka impor karena melemahnya nilai tukar rupiah bisa menggerus laba perusahaan.
“Keuntungan kami terpangkas sampai 20% akibat selisih kursa,” katanya.
Menurutnya, produsen alat kesehatan (alkes) sudah berkontrak dengan pemerintah sejak awal tahun lalu. Setelah kontrak ditandatangani, proses pengadaan dimulai dengan melakukan impor, baik itu bahan baku untuk kemudian diolah di Indonesia, maupun alat jadi.
“Alat-alat kesehatan ini akan datang pada Juli-Agustus ini. Kami minta LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) membuka ruang negosiasi yang luas,” katanya.
Kartono menyatakan, setiap anggota asosiasi akan mengirimkan surat kepada lembaga negara itu untuk melakukan penetapan harga ulang sesuai dengan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat saat ini.