Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Farmasi: Instruksi Presiden Terasa Jalan Di Tempat

Pelaku usaha sektor farmasi mempertanyakan implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, sebagai perwujudan kemandirian serta peningkatan daya saing industri ini.
Ilustrasi obat/JIBI
Ilustrasi obat/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA -- Pelaku usaha sektor farmasi mempertanyakan implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, sebagai perwujudan kemandirian serta peningkatan daya saing industri tersebut.

Direktur Eksekutif GP Farmasi, Dorodjatun Sanusi mengatakan upaya untuk mendorong pertumbuhan industri dapat terjadi salah satunya dengan menerapkan amanat Inpres No. 6/2016 tersebut.

Menurutnya, beleid yang dihadirkan untuk memastikan kemandirian industri, rasa-rasanya masih jalan ditempat. Sebelum menjadi Inpres, arahan kebijakan tersebut tertuang dalam Paket Ekonomi Kebijakan XI. "Belum terasa, kami masih menunggu," tuturnya, Senin (11/6/2018).

Dalam catatan Bisnis.com, tahun lalu pertumbuhan secara kumulatif pada 2017 mencapai 6,85% dengan kontribusi PDB di atas Rp180 triliun. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan kontribusi PDB pada 2016 yang senilai Rp173 triliun.

Keinginan untuk mendorong kinerja farmasi tidak hanya datang dari pelaku usaha, tetapi juga dari Kepala Negara. Dalam peresmian Pabrik PT Kalbio Global Medika yang merupakan anak usaha dari emiten farmasi PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), Jokowi mengajak pelaku usaha di industri farmasi untuk berinvestasi bahan baku obat, khususnya berbasis bioteknologi.

Menurutnya, pasar domestik untuk produk ini dinilai akan terus melesat dalam belasan tahun ke depan. "Jangan sampai kita mikir impor, impor, impor. Marilah kita bersama berpikir berinvestasi bidang-bidang bahan-bahan yang kita masih impor," katanya.

Selain soal implementasi Inpres, GP Farmasi juga mengharapkan adanya perubahan kebijakan soal perdagangan obat bebas atau over the counter (OTC) terbatas. Obat OTC ini, biasanya diberi label dot biru (bulatan merah di sudut kemasan obat.

Dorodjatun mengatakan sejauh ini obat bebas terbatas hanya boleh dijual di toko obat berizin. Hal tersebut akhirnya membatas distribusi OTC terbatas.

"Yang mengatur memang Kemenkes, tapi juga ada di BPOM. Masak menjual produk yang bisa membunuh seperti rokok bisa bebas, sementara penjualan OTC terbatas dihalangi," katanya.

Menurut GP Farmasi, jumlah toko obat berizin jumlahnya terbatas dan sebaiknya dibebaskan saja penjualannya ke toko ritel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fajar Sidik

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper