Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah memberikan tarif bea masuk khusus bagi importir dalam kerangka perdagangan bebas nyaris sia-sia akibat implementasi PMK No. 229/2017 yang berbelit dan ketidaksiapan Ditjen Bea dan Cukai.
Inilah topik headline Bisnis Indonesia edisi Kamis (24/5/2018). Berikut laporan selengkapnya.
Berdasarkan surat kepada Presiden Joko Widodo, yang salinannya diperoleh Bisnis, DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengadu soal pengenaan tarif normal bagi importir yang telat menyerahkan surat keterangan asal barang
ALFI mencatat selama 2 bulan implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian dan Kesepakatan Internasional sudah merugikan pengusaha pengurusan jasa kepabeanan hingga miliaran rupiah.
Padahal, selain bertujuan untuk mempercepat arus logistik dan menekan dwelling time, regulasi ini juga dibuat sebagai insentif untuk memberikan fleksibilitas bagi importir
Nyatanya, pabrikan kerepotan memenuhi kelengkapan dokumen SKA dalam waktu singkat. Akibatnya, bea masuk impor rendah yang diberikan dalam regulasi ini tak berlaku lagi, dan bahkan kembali kepada ketentuan tarif awal.
Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi menyayangkan PMK No. 229/2017 tidak disosialisasikan di Pelabuhan Tanjung Priok sejak pertama kali diberlakukan pada 28 Januari 2018.
Oleh karena itu, Yukki meminta Presiden Joko Widodo mengubah denda keterlambatan penyerahan SKA tidak dalam Notul melainkan dengan sanksi pemblokiran sementara dengan batas waktu 5 hari kerja.
Selain itu, ALFI mendesak revisi PMK No. 229/2017, yang salah satunya mengatur mekanisme keberatan terhadap pengenaan Notul dan dituliskan alasan kenapa denda itu bisa keluar. Selama ini, dua hal tersebut tidak ada.
“Kami juga meminta submit dokumen impor serta SKA dilakukan melalui INSW sehingga tidak perlu lagi tatap muka dengan petugas,” kata Yukki.
Sekretaris Jenderal DPP ALFI Akbar Djohan berharap Ditjen Bea Cukai segera merevisi beleid tersebut. “Kami sudah bilang ini sangat terasa ke anggota,” katanya.
Adapun, Direktorat Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai mencatat hanya 139 dokumen surat keterangan asal (SKA) dari total 89.000 dokumen SKA yang telat diterima otoritas pabean sepanjang April 2018.
Data itu membuktikan tidak sampai 1% dokumen SKA yang telat diterima kantor pelayanan bea dan cukai dan terkena sanksi tarif normal bea masuk impor barang.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Robert L. Marbun menjelaskan klasifikasi batas waktu bagi importir menyerahkan SKA merupakan bentuk fleksibilitas.
“Sebaliknya yang berlaku internasional, ketika barang masuk saat itu juga dokumen SKA disampaikan. Kami masih memberikan waktu sampai pukul 12.00 WIB ini menunjukkan kami sangat fleksibel,” jelasnya.
KEPASTIAN TARIF
Robert menegaskan ketentuan mengenai jangka waktu itu sekaligus memberikan kepastian bagi para pelaku usaha tentang bea masuk yang harus dibayarkan. Selama ini, para importir banyak yang menyampaikan SKA bisa sampai sebulan bahkan dalam waktu yang lama.
Dengan tidak adanya kepastian waktu, pejabat di lingkungan otoritas kepabeanan kesulitan menentukan bea masuk yang harus dibayarkan.
“Jadi kalau yang tepat waktu menyampaikan SKA-nya dapat tarif 5% dan yang terlambat 10%. Akan tetapi, yang terlambat itu kecil, sepanjang Mei ini hanya 0,05%,” jelasnya.
Keberatan atas beleid itu juga disampaikan juga Wakil Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Budiarto Tjandra. Dia berharap pemerintah memberikan solusi terkait dengan kendala yang dihadapi dalam penerapan PMK 229/2017.
“Kalau bisa cari jalan keluar, harus ada dialog karena seharusnya industri bisa memanfaatkan tarif preferensi,” ujarnya.
Firman Bakrie, Direktur Eksekutif Aprisindo, mengatakan pihaknya mendukung penerapan beleid tersebut untuk mencegah SKA palsu. Namun, hambatan teknis yang terjadi di lapangan harus segera diselesaikan. “Jangan sampai aturan yang tujuannya baik, justru mengganggu,” katanya.
Firman menjelaskan industri alas kaki dalam negeri masih mengimpor bahan baku berupa kulit dan tekstil dari China. Kontribusi bahan baku impor untuk industri alas kaki domestik berkisar 60%.