Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dorong Investasi Migas Indonesia, Ini Kebijakan yang Dibutuhkan

Perusahaan migas internasional ExxonMobil dan Chevron menilai dalam mendorong investasi hulu migas membutuhkan kebijakan fiskal yang mampu mendukung margin keuntungan yang baik. Dengan margin yang baik itu, perusahaan migas pun bergairah untuk menggelontorkan investasi yang lebih besar lagi secara berkelanjutan ke depannya.
Chevron/Reuters
Chevron/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA -- Perusahaan migas internasional ExxonMobil dan Chevron menilai dalam mendorong investasi hulu migas membutuhkan kebijakan fiskal yang mampu mendukung margin keuntungan yang baik. Dengan margin yang baik itu, perusahaan migas pun bergairah untuk menggelontorkan investasi yang lebih besar lagi secara berkelanjutan ke depannya.

Vice President Asia Pasific ExxonMobil Raymond E. Jones mengatakan, dalam memutuskan investasi migas, perusahaan migas akan melihat dari sisi fiskal dan geologi. Kedua hal itu menjadi yang paling penting dalam melihat keberlanjutan bisnis di suatu negara.

"Dari sisi geologi, dalam mengebor bebatuan itu memiliki risiko teknis tertentu pun bakal mempengaruhi keputusan investasi. Nah, dalam mendukung risiko dalam operasi dibutuhkan juga fleksibilitas dari sisi fiskal," ujarnya dalam Plenary Session hari pertama Indonesia Petroleum Association (IPA) pada Senin (5/2).

Raymond menuturkan, persyaratan fiskal yang lebih fleksibel bisa membuat estimasi dan prospek kemitraan yang bisa terjaga ke depannya. Lalu, dalam proses berhubungan dengan PT Pertamina (Persero), selaku perusahaan migas nasional Indonesia, juga harus dipermudah.

Di sisi lain, Chevron membandingkan antara kebijakan operasi migas di Indonesia dengan Permian Basin, Amerika Serikat (AS). Perusahaan asal Amerika Serikat itu pun menyoroti terkait skema kontrak baru yakni, bagi hasil kotor atau Gross Split yang diterapkan di Indonesia.

Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit Chuck Taylor mengatakan, dalam skema kontrak di Permina Basin, pemerintah mendapatkan hasil bersih sekitar 28% sampai 30%.

Dengan tingkat bagi hasil yang menarik untuk investor itu, Chevron mengklaim bisa mendorong produksi naik 35% menjadi 2 juta barel per hari. Selain itu, dampak kepada ekonomi pun semakin luas seperti cadangan minyak menjadi lebih besar 30 juta barel.

Lalu, di Indonesia dengan skema cost recovery, porsi pemerintah justru jauh lebih besar yakni, 70% dengan iming-iming biaya operasional yang dikeluarkan kontraktor dikembalikan oleh pemerintah.

"Dengan skema itu, investor sulit menentukan NPV [Net Present Value]. Nah, keputusan penggatian skema Gross Split ini lah yang bisa membuat bagi hasil kepada kontraktor bisa lebih besar," ujarnya.

Chevron menilai skema kontrak Gross Split ini menjadi salah satu arah yang baik untuk iklim investasi migas di Indonesia.

Namun, Chuck menilai dengan skema cost recovery, bagi hasil untuk pihaknya sebagai contoh sekitar 88-12 sampai 60-40. Dengan Gross Split, besaran bagi hasil itu bisa lebih positif untuk investor walaupun tidak mendapatkan biaya pengembalian operasi.

"hanya saja dengan Gross Split saja tidak bakal mampu mendorong investasi migas. Kebijakan fiskal yang lebih fleksibel bakal mendorong lebih baik, terutama untuk margin investor," ujarnya.

Raymon pun menyebutkan, Indonesia pun harus memberikan return investasi yang lebih tinggi agar bisa lebih kompetitif dengan negara lain.

"Terutama, Indonesia harus membuat lingkungan bisnis menjadi lebih stabil dan konsisten. Jangan sampai membuat investor harus berhadapan dengan perubahan regulasi di tengah jalan sehingga tidak mendapatkan target yang diharapkan," sebutnya.

Namun, Chevron dan Exxon pun menilai Indonesia sudah berbenah diri untuk membuat iklim investasi, terutama di hulu migas bisa menjadi lebih baik lagi. Misalnya, penerapan kontrak Gross Split dan penyederhanaan aturan.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, investasi di Indonesia diharapkan bisa naik dengan adanya pencabutan aturan dan revisi yang dianggap membuat proses bisnis berbelit-belit. Pihaknya pun juga bersikap jemput bola untuk bisa mendorong investasi hulu migas di Indonesia.

"Jadi, kami menanyakan kepada investor, dia tuh mau ambil investasi di mana dengan alasan apa. Hasil itu bisa membuat lingkungan investasi menjadi lebih kompetitif," ujarnya.

Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) Ronald Gunawan mengatakan, langkah pemerintah, terutama Kementerian ESDM, memang semakin baik dengan adanya penyederhanaan aturan maupun kontrak Gross Split dan insentif fiskalnya. Namun, ini awal untuk membentuk iklim investasi menjadi lebih baik lagi.

"Beberapa yang lagi diproses lainnya adalah terkait proses impor baja yang akan dipermudah untuk perusahaan hulu migas. Biasanya, untuk mengajukan proses impor baja dibutuhkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan," ujarnya.

Beberapa aturan lain yang dinilai masih kerap menghambat adalah aturan di daerah untuk pembebasan lahan.

"Kalau proses pembebasan lahan di wilayah kerja migas bisa lebih mudah, itu akan sangat membantu untuk investasi migas secara berkelanjutan," ujar Ronald.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Surya Rianto
Editor : Sepudin Zuhri

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper