Bisnis.com, BATAM – Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bersama kementerian terkait tengah menggodok aturan mengenai nilai minimum penyertaan modal asing pada industri kreatif, termasuk perusahaan rintisan (Startup).
“Saya belum tahu arahnya kemana, tapi ini sedang dalam percaturan unutk menjadi kebijakan resmi. Kepala Bekraf bersama kementerian terkait sedang membicarakan ini,” ujar Sekretaris Utama Bekraf Mesdin Kornelius Simarmata.
Bekraf kerap menerima masukan mengenai penyertaan modal asing pada industri kreatif, terutama perusahaan rintisan.
Aturan yang berlaku saat ini menyebutkan, Investor asing harus punya modal minimum Rp 50 miliar untuk berkolaborasi dengan perusahaan startup lokal. Sementara jika ingin membangun perusahaan sendiri, modalnya harus di atas Rp 100 miliar.
Topik ini menurutnya menjadi topik pembicaraan yang hangat antara kepala Bekraf dngan sejumlah kementerian terkait. Bekraf berharap ada regulasi khusus yang ditelurkan, agar aturan penyertaan modal asing ini jadi lebih ramah investasi, namun juga melindungi perusahan rintisan lokal.
“Kita suah well informed mengenai masalah ini. Mudah-mudahan solusinya segera dirumuskan,” jelasnya.
Baca Juga
Direktur Infrastruktur ICT Bekraf Muhammad Neil El Himam mengatakan, masalah nilai minimum penyertaan modal asing ini memang dilematis.
Awalnya aturan ini dibuat unutk mendorong investor dalam negeri mengambil peran dominan untuk mendukung perusahan rintisan dalam negeri.
Namun kenyataannya tak banyak investor lokal yang mau menanamkan modalnya pada perusahaan rintisan dalam negeri.
Dalam beberapa kasus, mereka baru tergerak mengeluarkan modal ketika perusahaan rintisan berhasil menunjukan keuntungan ekonomis yang memadai.
Di sisi lain, ternyata beberapa investor asing, khususnya dari Singapura dan Malaysia menyatakan kesiapannya menanamkan modal pada perusahaan rintisan lokal.
Namun karena aturan nilai minimum investasi ini dinilai memberatkan, akhirnya modal asing tak bisa masuk ke dalam negeri.
“Ini memang seperti pedang bermata dua, yang membuat kita dilematis,” jelasnya.
Bekraf sendiri tengah melakukan pendekatan-pendekatan, agar aturan yang ada saat ini bisa dievaluasi. Dengan demikian, niat melindungi perusahaan rintisan lokal lantas tak menghalangi modal asing yang ingin mendanai perusahan rintisan lokal.
Ktua Koordinator Himpunan Kawasan Industri OK Simatupang juga angkat suara terkait penyertaan modal asing dalam industri digital, terutama perusahaan rintisan.
Selama ini, banyak perusahaan digital asal Singapura dan Malaysia yang ingin masuk ke Batam.
“Rata-rata investor untuk startup atau e-commerce,” jelasnya.
Mereka mengeluhkan aturan mengenai nilai minimal modal yang harus dimiliki perusahaan untuk merintis usahanya di Batam.
Menurut aturan bisnis digital yang ingin dikuasai 100 persen modal asing harus punya investasi di atas Rp 100 miliar.
Jika nilai investasinya hanya di bawah Rp 50 miliar, pemerintah tak mengizinkan mereka menanamkan modal. Karena sudah dialokasikan hanya untuk investor dalam negeri.
Sementara untuk modal antara Rp 50 miliar sampai Rp 100 miliar, investor harus mencari partner lokal.
“Mereka tak mau masuk dengan nilai investasi minimal yang sangat besar ini. Ini ada dituangkan dalam revisi mengenai daftar negatif investasi,” jelasnya.
Menurut dia, aturan ini justru tidak ramah terhadap iklmim ekonomi kreatif yang ingin diciptakan pemerintah.
Pasalnya, tanpa modal yang memadai, pelaku industri kreratif, khususnya perusahaan rintisan tak akan bisa bersaing dengan industri serupa di Singapura dan Malaysia.
Padahal tak mudah mencari kemitraan antara perusahaan rintisan lokal dengan pemodal asing.
Pasalnya, pemodal perlu melihat profil perusahaan rintisan secara utuh untuk meningkatkan kepercayaan. Baik kepercayaan dari sisi produk, maupun aspek pengelolaan perusahaan.
“Kami setuju bila nilainya diturunkan di bawah Rp 50 miliar,” tegasnya.
Sekretaris Asosiasi Digital Enterpreneur Indonesia (ADEI) Amar Satria mengatakan, pada prinsipnya aturan mengenai nilai investasi minimal asing dalam startup company tersebut sudah baik. Aturan itu disebut-sebut mendukung pertumbuhan startup lokal.
“Tujuannya sederhana saja. Pemerintah ingin melindungi startup lokal, jangan sampai tergerus dengan pemain asing,” jelasnya.
Sejauh ini memang ada perusahaan asing yang mengajak perusahaan rintisan lokal untuk bermintra. Namun kerjasama yang ditawarkan belum sampai kepada kerjasama Business to Business (B to B).
Tapi kerjasama tenaga kerja. Pemodal asing ingin merekrut tenaga SDM Batam yang dikenal cukup kompetitif, kemudian diberikan imbalan dari hasil kerjanya.
“Jadi bukan kerjasama bisnis, tapi rekrutmen tenaga kerja yang dibayar bulanan. Kita masih dihargai sebatas itu saja,” jelasnya.