Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini M. Soemarno mengusulkan penurunan pajak bunga pinjaman luar negeri menjadi kisaran 5%-10%.
Rini mengatakan usulan tersebut sebagai bagian dari insentif bagi perseroan yang ingin menghimpun dana dari luar negeri, khususnya melalui instrumen obligasi global. Saat ini, besaran pajak bunga pinjaman luar negeri yang diusulkan masih dibahas dan ditinjau oleh Kementerian Keuangan.
“Usulannya antara 5%-10% tergantung bagaimana nanti dari Kementerian Keuangan,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (21/3/2018).
Dia beralasan pajak bunga pinjaman luar negeri harus diturunkan agar skema pendanaan yang ditawarkan perseroan dalam negeri menjadi lebih kompetitif. Hal tersebut sejalan dengan kebutuhan Indonesia dalam membangun beraneka ragam infrastruktur.
Rini menilai saat ini ketersediaan dana di pasar domestik tidak mencukupi kebutuhan pendanaan sejumlah proyek infrastruktur yang tengah dikebut oleh pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan akses pendanaan dari pasar internasional.
“Kalau akhirnya membuat cost of fund lebih tinggi maka akan sulit mencari pendanaan atau tidak kompetitif,” imbuhnya.
Baca Juga
Dia menambahkan bahwa hal tersebut seharusnya tidak berlaku di pasar internasional saja. Untuk penghimpunan dana di pasar domestik, seperti sekuritisasi dan obligasi, harus diberikan insentif.
Menurut sumber Bisnis, saat ini pajak bunga pinjaman luar negeri ditanggung oleh pengemisi obligasi. Sedangkan, untuk penerbitan di dalam negeri, pajak bunga ditanggung oleh investor.
Kondisi itu membuat secara perhitungan penerbitan obligasi di luar negeri kalah kompetitif dengan emisi surat utang sejenis di dalam negeri. Untuk memberikan solusi tersebut, diperlukan pembahasan hingga ke tingkat kabinet sehingga keluar insentif dalam bentuk kebijakan.
Besaran pajak bunga pinjaman luar negeri Indonesia, sambungnya, menurut aturan sebesar 20%. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan India yang mematok tarif 5%.
Secara terpisah, Direktur Keuangan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Tunggul Rajakgukguk telah menyatakan minatnya untuk menerbitkan obligasi global berdenominasi rupiah atau komodo bond. Saat ini, rencana aksi korporasi tersebut tengah dikaji oleh internal perseroan.
Tunggul menyatakan akan mengeksekusi opsi tersebut apabila perhitungan cost of fund lebih kecil dibandingkan dengan obligasi domestik. Pasalnya, obligasi domestik perseroan mendapatkan kupon 7,75% atau sama dengan obligasi komodo yang diterbitkan oleh PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. beberapa waktu lalu.
“Kalau di dalam negeri bersih karena mereka yang bayar pajaknya. Lebih mahal di luar negeri saat ini tetapi dalam negeri ada tidak uangnya?” ujarnya.
Dalam paparan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso di London, Inggris, akhir pekan lalu, dijelaskan bahwa saat ini terdapat 37 proyek prioritas yang tengah digarap oleh Indonesia.Dari jumlah tersebut, 13 merupakan proyek prioritas baru, sedangkan sisanya merupakan pekerjaan yang telah berjalan.
Total nilai investasi dari 37 proyek yang dicanangkan pada 2017-2015 mencapai US$181,6 miliar. Dari situ, US$17,5 miliar akan dipenuhi oleh anggaran pemerintah pusat maupun daerah.
Dengan demikian, total selisih kebutuhan pembiayaan untuk 37 proyek prioritas tersebut senilai US$164,2 miliar atau 90% dari total kebutuhan proyek.