Bisnis.com, JAKARTA - Selain mengejar kepatuhan wajib pajak (WP) dengan implementasi beberapa regulasi yang diterbitkan akhir-akhir ini, pemerintah perlu memikirkan insentif bagi pelaku usaha khususnya Industri Kecil dan Menengah (IKM). Insentif itu diperlukan supaya mereka bisa bertahan dari regulasi perpajakan yang makin kompleks.
Aturan mengenai Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) No. 31/PJ/2017 yang salah satunya mewajibkan pembeli yang tak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 tentang cara lain menghitung peredaran bruto sebenarnya memiliki tujuan yang baik.
Dalam lingkup perdirjen, secara sederhana kewajiban pencantuman NIK untuk Pembeli yang tidak ber-NPWP sebenarnya bagus, mendorong pemerataan pemajakan dan transparansi dalam hal transaksi jual-beli, sehingga dapat menekan modus para pembeli yang tidak ingin mengungkapkan datanya karena khawatir dapat ditelusuri transaksinya.
Namun demikian, jika merunut aturan yang berada di atasnya, ketentuan ini memiliki posisi yang lemah secara hukum. Pasalnya, ketentuan mengenai syarat ketentuan faktur pajak sudah diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pasal itu, menjelaskan, bahwa keterangan yang wajib dicantumkan dalam faktur pajak mencakup nama alamat, dan NPWP yang penjual sebagai pihak yang menyerahkan dana nama (termasuk NPWP) pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Ketentuan itu juga mengatur mengenai jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga hingga nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.
"Namun satu catatan saya, perihal Faktur Pajak syarat dan ketentuannya sudah jelas tercantum dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN," kata Ajib Hamdani dari Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia [Hipmi] Tax Center kepada Bisnis, Senin (5/3/2018) .
Artinya, jika otoritas pajak ingin mewajibkan pencantuman NIK untuk pembeli yang tidak memiliki NPWP, seharusnya undang-undangnya diubah dahulu, ditambahkan syarat NIK. Bagi dia, konteks kebijakan pajak, seharusnya menjadi stimulus bagi perekonomian. Proses administrasi pajak yang mudah dan gamblang dibutuhkan, selain bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak, hal itu juga bisa menjadi insentif bagi pelaku usaha.
Sementara itu, dalam konteks PMK 15/PMK03/2018, yang memberikan delapan alternatif bagi fiskus untuk menilai peredaran bruto wajib pajak, sebagai pengejawantahan undang-undang, peraturan setingkat menteri tak boleh melebihi undang-undang. Bila hal ini terjadi, potensi terjadi sengketa, jika ada Wajib Pajak yang menggugat di pengadilan atau pun melakukan judicial review, posisi Ditjen Pajak akan sangat lemah.
"Yang penting selain mengeluarkan aturan penegakan hukum, di sisi lain perlu secara paralel dikeluarkan aturan yang bisa memberikan insentif fiskal. Jadi, ada keseimbangan hak dan kewajiban untuk wajib pajak," jelasnya.
Adapun delapan metode penghitungan alternatif yang bisa menjadi rujukan pemeriksa pajak sesuai PMK itu meliputi: transaksi tunai dan nontunai; sumber dan penggunaan dana; satuan atau volume; penghitungan biaya hidup; pertambahan kekayaan bersih; berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya; proyeksi nilai ekonomi; atau penghitungan rasio.