Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

INSA Minta Pemerintah Maksimalkan Lapangan Penumpukan Pelabuhan

INSA Surabaya meminta pemerintah untuk memaksimalkan kapasitas lapangan penumpukan di Pelabuhan Tanjung Perak terutama di pelayanan peti kemas ekspor impor.
Aktivitas bongkar muat kontainer di dermaga internasional PT Terminal Petikemas Surabaya, Jawa Timur./Antara-Didik Suhartono
Aktivitas bongkar muat kontainer di dermaga internasional PT Terminal Petikemas Surabaya, Jawa Timur./Antara-Didik Suhartono

Bisnis.com, SURABAYA - Kalangan pengusaha kapal anggota Indonesian National Shipowners Association (INSA) Surabaya meminta pemerintah untuk memaksimalkan kapasitas container yard (CY) atau lapangan penumpukan di Pelabuhan Tanjung Perak terutama di pelayanan peti kemas ekspor impor.

Ketua INSA Surabaya Stenvens H. Lesawengan mengatakan hal itu perlu dilakukan mengingat yard occupancy ratio (YOR) di Pelabuhan Terminal Petikemas Surabaya (TPS) masih sekitar 50%, sehingga masih ada ruang bagi pemilik barang impor atau ekspor untuk mengisinya.

"Seharusnya YOR itu 70% seusai dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah. Barang di peti kemas bisa dikeluarkan dari CY ketika kapasitas lapangan penumpukan sudah penuh atau mencapai 70%," jelasnya kepada Bisnis pada Senin (19/2/2018).

Berdasarkan data TPS yang diperoleh INSA, YOR TPS sejak 2010 belum pernah mencapai 70%. Tercatat YOR pada 2010 yakni 47,7%, 2011 mencapai 56,69%, 2012 mencapai 55,63%, 2013 mencapai 54,58%, 2014 mencapai 43,39%, 2015 mencapai 37,97% (sejak ada Permentan soal hortikultura), lalu pada 2016 mencapai 34,65% dan 2017 mencapai 35%.

Dia mengungkapkan belum maksimalnya YOR di lapangan penumpukan karena adanya target dwelling time 2-3 hari, di mana barang yang sudah turun dari kapal hingga berhenti di CY hanya boleh 2-3 hari, setelah itu harus keluar dari CY atau dipindah ke tempat penitipan sementara.

"Nah, akibatnya cost para importir ini jadi membengkak, karena setelah keluar dari CY harus membayar biaya lift on, tracking, lift off, lalu bayar sewa gudang lalu lift on lagi," jelasnya.

Stenvens mencontohkan biaya menginap barang di lapangan penumpukan sekitar Rp25.000 per kontainer per hari. Dibandingkan dengan biaya memindahkan kontainer ke depo lain bisa mencapai Rp155.000 per kontainer untuk biaya lift on, Rp500.000-Rp1 juta untuk tracking, Rp200.000 per kontainer untuk lift off ditambah biaya sewa depo per hari.

"Itu kisaran biaya-biayanya. Menurut kami, tidak perlu memikirkan yang namanya dwelling time karena akan menambah beban biaya pemilik barang. Selain itu, kalau pemerintah memaksimalkan CY, ini akan menguntungkan negara," ujarnya.

Menurut dia, pelayanan di pelabuhan atau dari sisi PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III sudah sangat bagus, termasuk kecepatan pelayanan saat kapal akan sandar hingga peti kemas berhenti di lapangan penumpukan.

"Kalau pun terjadi masalah di lapangan penumpukan, bisa jadi karena kelengkapan dokumen," papar Stenvens.

Wiwit, salah seorang importir biji plastik di Surabaya mengaku kondisi pembekakan biaya sewa depo sudah dialami sejak lama. Akibatnya, produsen barang-barang dari plastik itu kerap menaikkan harga jual di pasaran untuk menutupi tingginya biasa logistik.

"Biasanya kan barang datang duluan dan sambil menunggu dokumen selesai, tapi dalam 2 hari kontainer saya sudah dipindah ke tempat penitipan sementara tanpa sepengetahuan, akhirnya kita harus bayar biaya-biaya itu tadi," ungkap Wiwit, yang enggan menyebut nama perusahaannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Peni Widarti
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper