Bisnis.com, JAKARTA - Kewajiban menyampaikan data transaksi kartu kredit membantu pemerintah untuk mengetahui profil wajib pajak.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, mengatakan bahwa melalui kartu kredit pemerintah bisa mengecek keseuaian antara belanja dan penghasilan yang dilaporkan dalam SPT tahunan.
"Kita tidak concern dengan apa yang mereka konsumsi atau kartu kredit tersebut untuk belanja apa atau di mana, tapi itu untuk melihat kesesuaiannya dengan penghasilan yang mereka laporkan dalam SPT Tahunan," kata Yoga kepada Bisnis, Minggu (4/2/2018).
Identifikasi penghasilan dari pemilik kartu kredit sebenarnya bisa dilakukan dengan mengecek nilai transaksi atau tagihan.
"Contohnya, kalau orang lapor penghasilan di SPT Tahunan hanya Rp10 juta per bulan, tapi belanja dengan kartu kredit Rp100 juta perbulan, itu mesti diteliti kebenaran pelaporan penghasilan di SPT nya," jelasnya.
Seperti telah diberitakan Bisnis sebelumnya, pemerintah secara diam-diam kembali mewajibkan pelaporan transaksi kartu kredit melalui implementasi PMK No.228/PMK.03/2017 tentang rincian jenis data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Salah satu pertimbangan otoritas fiskal mengeluarkan peraturan ini adalah untuk melaksanakan simplifikasi ketentuan yang mengatur mengenai rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Perubahan kelima dilakukan lewat Peraturan Menteri Keuangan No. 39/PMK.03/2016, yang memunculkan tambahan pihak yang wajib menyampaikan data terkait perpajakan. Dalam beleid semasa Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro tersebut, kewajiban pelaporan data transaksi diberlakukan untuk 23 bank/lembaga penyelenggara kartu kredit.
Dalam catatan Bisnis, setelah ada fenomena penurunan transaksi dan penutupan kepemilikan kartu kredit, pemerintah mengalah. Pelaksanaan pelaporan data kartu kredit untuk perpajakan ditunda setelah implementasi kebijakan pengampunan pajak berakhir.
Pada awal Juni 2016, dari data Ditjen Pajak (DJP), baru tiga bank/lembaga yang sudah selesai dan mulai memberikan data sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Sebanyak 15 bank/lembaga sudah menyerahkan data tapi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, empat bank sedang proes pengecekan, dan satu bank/lembaga meminta penundaaan pengiriman data.
Namun, alih-alih kembali meminta pelaporan, Ken Dwijugiasteadi yang waktu itu masih menjabat sebagai Dirjen Pajak, mengatakan bahwa kartu kredit pada dasarnya dimiliki nasabah peminjam atau sederhananya utang. Menurutnya, potensi penghasilan yang ditangkap dari transaksi kartu kredit juga tidak akurat.
Ken saat itu juga telah mengirimkan Surat Dirjen Pajak No. S-106/PJ/2017 tertanggal 31 Maret 2017 kepada direktur utama bank/lembaga penyelenggara kartu kredit terkait tindak lanjut penyampaian data transaksi kartu kredit ke Ditjen Pajak.
Dengan surat itu, Dirjen Pajak menarik kembali surat Direktur Teknologi dan Informasi Perpajakan No. S-119/PJ.10/2017 tertanggal 23 Maret 2017 yang meminta data pokok pemegang kartu kredit dan data transaksi kartu kredit periode Juni 2016 sampai dengan Maret 2017.
Dalam Surat Dirjen Pajak, Ken hanya mengatakan penundaan yang dilakukan sebelum amnesti pajak tetap dilanjutkan. Namun, Ken menegaskan akan mencabut data transaksi kartu kredit dari kewajiban pelaporan. Revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) pun akan dilakukan. Saat itu, posisi Menteri Keuangan sudah digantikan Sri Mulyani Indrawati.
Beleid yang berlaku sejak tanggal diundangkan, 29 Desember 2017, meminta 23 bank/lembaga penyelenggara kartu kredit untuk menyampaikan data transaksi dalam bentuk elektronik dan disampaikan secara online.
Ke-23 instansi itu yakni: Pan Indonesia Bank Ltd. Tbk.; PT Bank ANZ Indonesia; PT Bank Bukopin Tbk.; PT Bank Central Asia Tbk.; PT Bank CIMB Niaga Tbk.; PT Bank Danamon Indonesia Tbk.; PT Bank MNC Internasional; PT Bank ICBC Indonesia; PT Bank Maybank Indonesia Tbk.; PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.; serta PT Bank Mega Tbk.
Ada pula PT Bank Negara Indonesia 1946 (Persero) Tbk.; PT Bank Negara Indonesia Syariah; PT Bank OCBC NISP Tbk; PT Bank Permata Tbk.; PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.; PT Bank Sinarmas; PT Bank UOB Indonesia; Standard Chartered Bank; The Hongkong & Shamghai Banking Corp.; PT Bank QNB Indonesia; Citibank N.A; dan PT AEON Credit Service.
Data Transaksi Nasabah Kartu Kredit paling sedikit memuat: nama bank; nomor rekening kartu kredit; ID merchant; nama merchant; nama pemilik kartu; alamat pemilik kartu; Nomor Induk Kependudukan (NIK)/nomor paspor pemilik kartu; Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik kartu; bulan tagihan; tanggal transaksi; rincian transaksi; nilai transaksi; dan pagu kredit.
Dalam beleid itu, penyampaian pertama kali tetap ditulis 31 Mei 2016 dengan jadwal penyampaian bulanan paling lambat akhir bulan berikutnya. Belum ada keterangan resmi dari otoritas terkait regulasi baru ini. Apalagi, selain tetap mempertahankan kewajiban lapor transaksi kartu kredit, dalam beleid itu ada tambahan beberapa pihak yang memiliki kewajiban serupa.