Bisnis.com, JAKARTA: Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta mengungkapkan masih terdapat rata-rata sekitar 4% barang impor yang sudah lebih dari tiga hari mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau sudah clearance kepabeanan namun masih menumpuk di lini satu terminal peti kemas pelabuhan Tanjung Priok.
Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Dwi Teguh Wibowo mengatakan, selebihnya kontainer impor tersebut sudah bergerak keluar ditarik oleh pemilik barangnya setelah mengantongi SPPB dan hanya menumpuk kurang dari tiga hari di pelabuhan.
Dia mengatakan, terhadap kontainer impor setelah SPPB semestinya segera di ambil pemilik barangnya, kecuali terhadap kontener impor yang sudah SPPB namun masih dalam pengawasan Bea dan Cukai karena mesti ditempatkan di kawasan berikat.
Berdasarkan data Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, pada bulan Oktober 2017, rata-rata prosentase kontener yang lebih dari tiga hari menumpuk di pelabuhan Priok setelah mengantongi dokumen SPPB mencapai 4,1% dan pada bulan November 2017 (s/d tanggal 12 Nopember 2017) mencapai 2,18%.
“Kontener impor yang sudah SPPB itu kan sudah clearance kepabeanan, kami menghimbau pemiik barang semestinya segera mengeluarkan barangnya tersebut dari pelabuhan. Mungkin masih ada yang ditumpuk di pelabuhan karena importirnya mengalami keterbatasan space gudang penyimpanan. Namun berdasarkan analisa kami barang yang sudah SPPB itu pada umumnya bergerak keluar pelabuhan,” ujarnya kepada Bisnis, pada Selasa Malam (21/11/2017).
Dwi Teguh menyampaikan hal itu mempertegas komitmen instansinya dalam mendukung program percepatan dwelling time dan menurunkan biaya logistik khususnya di Pelabuhan Priok berkaitan dengan terbitnya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No:25/2017 tentang batas waktu penumpukan barang impor (longstay) di empat pelabuhan utama di Indonesia.
“Terhadap Permenhub itu, Bea dan Cukai sudah jelas komitmennya, kalau kontener sudah SPPB itu artinya sudah kita perintahkan untuk keluar pelabuhan,” paparnya.
Dalam beleid itu disebutkan, batas waktu penumpukan peti kemas impor di pelabuhan utama yakni; Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Belawan Bedan dan Makassar dibatasi maksimal tiga hari.
Dwi Teguh juga mengatakan, saat ini karakteristik importasi di Pelabuhan Tanjung Priok untuk kategori jalur merah sebanyak 7%, jalur kuning 8% dan jalur hijau 85%. “Artinya sentuhan Bea dan Cukai tidak banyak karena yang jalur hijau 85% itu tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan fisik dan dokumen,” paparnya.
Pada prinsipnya, imbuhnya, Bea dan Cukai ingin memberikan pelayanan yang semaik baik akurat dan cepat, karenanya instansi tersebut memfokuskan kegiatan pemeriksaan importasi kategori jalur merah dengan mendorong percepatan penarikan pemeriksaan jalur merah (PJM) sehingga proses pemeriksaan fisik lebih cepat.
“Percepatan PJM itu melalui manajemen pemeriksaaan yang terukur. Jangan sampai petugas kami yang ditempatkan di longroom lokasi behandle Graha Segara itu menunggu pemilik barang impornya yang kontenernya mau dilakukan pemeriksaan fisik,” tuturnya.
Dwi Teguh juga mengatakan, Bea dan Cukai berkomitmen mendukung percepatan masa inap barang atau dwelling time di Pelabuhan Priok, meskipun diakuinya saat ini rata-rata dwelling time di pelabuhan tersebut masih mencapai lebih dari tiga hari.
Berdasarkan data KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok, dwelling time di pelabuhan Priok pada bulan Oktober 2017 mencapai rata-rata 3,7 hari dengan rincian pre clearance 2,1 hari, custom clearance 0,5 hari dan post clearance 1,1 hari.
Sedangkan dwelling time pada bulan Nopember (s/d 12 Nopember 2017) tercatat rata-rata 3,2 hari dengan rincian pre clearance 1,8 hari, custom clearance 0,4 hari dan post clearance 1,01 hari.