Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada Apa Di Balik Beras?

Dunia pertanian kita kembali marak. Kali ini dipicu oleh aksi penggerebekan gudang milik PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS).
Beras/JIBI-Dedi Gunawan
Beras/JIBI-Dedi Gunawan

Kebijakan, Politik atau Persaingan Bisnis? (6)

Bisnis.com, JAKARTA - Soal harga pangan, Presiden Jokowi begitu serius. Tidak mau kompromi. Harga yang tinggi harus ditebas. Lantaran, harga yang tinggi membuat pangan strategis  [beras] sulit dijangkau rakyat.  Di mata Jokowi, kenaikan harga pangan akan memukul 81%  jumlah penduduk Indonesia. Lantaran, makanan menyumbangkan 73%  pengaruh dalam garis kemiskinan.

”Naiknya harga pangan telah menjadi masalah serius bagi pemerintahan di Asia yang berkuasa sekarang,” kata Ataur Rahman, pakar politik dari Banglades.

Di China, inflasi akibat kenaikan harga pangan juga bisa menimbulkan kerusuhan sosial. ”Ada banyak warga yang memendam marah karena kenaikan harga pangan,” kata Jean-Pierre Cabestan dari Baptist University, Hongkong. Rasa marah ini berpotensi menjadi bibit kerusuhan di masa datang.

Di Vietnam, aksi protes juga berpotensi meningkat. ”Masalahnya, kenaikan harga pangan telah memukul banyak banyak orang,” kata Nguyen Thi Dung, seorang tokoh serikat buruh Vietnam.

Pada 9 April 2008, kita mungkin pernah membaca berita: Rakyat Haiti yang lapar menyerbu istana kepresidenan dan meminta pengunduran diri Presiden Rene Preval, Selasa (8/4). Pemerintahan Preval dituduh menjadi penyebab melambungnya harga-harga makanan maupun gas.

Itulah mengapa  pemerintahan Jokowi  --dan pemerintah sebelumnya-- selalu bertekad membuat pangan rakyat tercukupi. Tujuan lainnya,   mengurangi kemiskinan. Sebab masalah pangan memberikan kontribusi yang besar terhadap angka kemiskinan.

Termasuk  membuat petani lebih sejahtera dan membuat produsen pangan dalam negeri makin besar andilnya dalam mencukupi kebutuhan pangan. Juga untuk membuat APBN semakin efektif untuk menjangkau rakyat.

Tak ayal, Jokowi pun tak mau kompromi dan memerintahkan para pembantunya agar berbuat sesuatu yang maksimal.  Dan, mereka pun bergerak. Gudang-gudang perusahaan beras pun disatroni.

Sejatinya, upaya untuk menjaga stabilitas harga pangan, tidak harus dilakukan berlebihan. Selain produksilah beras sebanyak dua kali lipat dari produksi normal, pemerintah juga perlu arif dalam melihat persoalan. Setiap ada harga yang dinilai tinggi tidak perlu  selalu mencurigai  ada pihak yang hendak ambil untung atau ingin mengganggu stabilitas harga di belakangnya. Apalagi sampai ada tuduhan keji.

Padahal, tingginya harga pangan, sejauh ini, juga selalu diakui pemerintah: Akibat  rantai pasok yang panjang. Dan, bukan tidak mungkin, pengusaha beras juga korban rantai pasok yang panjang itu. Apalagi yang besar dengan investasi miliaran dan ada dana publik di sana.

Maka, ketika harga bergerak naik, pemerintah sebaiknya berpikir bagaimana mengatasi rantai pasok itu. Bukan dengan menimpakan kesalahan kepada mereka yang membeli mahal dari petani dan menjual beras lebih mahal dari harga beli di petani. Toh itu pun tak ada  dipersoalkan konsumen kelas menengah atas.

Akibatnya,    para menteri yang sudah tahu tentang persoalan rantai pasok yang panjang, hingga kini, tak bisa  menuntasan persoalan itu.  Sibuk dengan urusan lain. Padahal teriaknya sudah sejak lama.

Malah, Pemerintah cenderung bertindak parsial dengan hanya menindak mereka yang (kebetulan) kedapatan menjual pangan, beras misalnya, dengan harga tinggi.

Kesepakatan tiga menteri --Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian--  ingin menuntaskan persoalan rantai pasok --yang diucapkan di Kementerian Pertanian saat ramadhan dan Lebaran tahun ini-- bagaimana  nasibnya?

Pemerintah (kini) cenderung membentuk atau memposisikan diri sebagai pemadam kebarakan. Lalu, dengan otoritasnya, menduga-duga atau menuding bahwa pelaku melakukan tindakan buruk yang hanya mengambil keuntungan untuk kelompok atau pribadi. Bahkan dituding perbuatan curang.

Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menggerebek gudang beras PT Indo Beras Unggul (IBU) di Jalan Rengas km 60 Karangsambung, Kedungwaringin, Bekasi, Jawa Barat pada Kamis (20/7/2017) malam.

"Berdasarkan hasil penyidikan diperoleh fakta bahwa perusahaan ini membeli gabah di tingkat petani dengan harga Rp4.900," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya di Jakarta, Jumat.

Menurutnya, tindakan pihak PT IBU yang menetapkan harga pembelian gabah di tingkat petani yang jauh di atas harga pemerintah dapat berakibat pelaku usaha lain tidak bisa bersaing. "Ini berdampak pada kerugian pelaku usaha lain," katanya.

Mensos: Beras PT IBU Bukan Untuk Rastra

Bahkan ada pernyataan: "Tindakan yang dilakukan  dapat dikategorikan sebagai
perbuatan curang, karena merugikan pelaku usaha lain," katanya.

Meski ada ketentuan harga acuan yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan, kemudian  ada yang membeli beras atau gabah petani di atas HET, tidak perlu dipersalahkan. Bagaimana jika dari semua itu  tidak terbukti adanya niat jahat?

Mereka tidak perlu dituduh telah membuat persaingan menjadi tidak sehat dan mematikan pengusaha yang lain. Kita harus tahu, gabah yang dihasilkan petani di Indonesia  jutaan ton atau miliaran kilogram.

Dan,  ketika gabah dibeli dengan harga tinggi, boleh jadi, memang ada oknum petani yang meminta harga sebesar itu. Dan pengusaha tidak ada pilihan lain. Bahkan, bukan tidak mungkin,  tawaran awalnya di atas harga yang akhirnya dibayar si pengusaha.

Sulit membayangkan pedagang  mau membeli bahan baku mahal saat dia sadar atau tahu harga jual  selanjutnya akan semakin mahal. Mereka pasti mencari yang lebih murah guna menekan harga jual.

Pemerintah harusnya justru bertanya: Apakah di balik harga yang tinggi itu --atau margin keuntungan yang tinggi itu-- sepenuhnya dimakan si pedagang? Sebab, bukan hal yang mustahil, keuntungan besar yang kita lihat itu tidak semuanya dinikmati pedagang. Dan harga mahal yang dibeli, pasti tidak terjadi begitu saja. Lantaran, dalam proses penjualan itu, bisa jadi banyak hal yang memicu si pedagang harus  membeli barangnya dengan harga yang  tinggi. Begitu juga saat menjual.

Apalagi, aturan yang menjadi acuan penggerebekan itu, baru berumur dua hari dari hari penggerebekan. Sementara pembelian sudah berlangsung lama sebelum 18 Juli 2017. Dan hanya dalam dua hari, setelah aturan Harga  Acuan yang baru  dikeluarkan Mendag, penggerebekan terjadi.

Pasar pangan kita memang 'sakit'. Itu sudah lama. Tapi itu bukan karena ulah satu atau dua orang. Banyak pihak yang terlibat sejak awal proses produksi.  Misalnya ersoalan modal kerja, selalu menjadi persoalan.

Pemerintah tentu tahu, petani padi masih belum bankable.  Dan pemerintah tentu tahu  asal usul uang petani untuk membeli benih dan pupuk yang disubsidi pemerintah. Tengkulak. Mereka lebih cepat membantu petani dibading pemerintah. Apakah persoalan ini  sudah terselesaikan?

Singkirkan tengkulak?  Lalu siapa yang siap membantu modal kerja petani? Ini persoalan yang sudah terjadi sejak jaman baheula  dan hingga kini tak kunjung mampu diatasi.

Dan, kita juga tahu betapa besar dana  yang dikeluarkan untuk setiap item produk yang dipasok ke toko moderen kendati ada aturan tentang biaya trading terms dan listing fee yang dikenakan kepada pemasok.

Tak ayal, langkah Satgas Pangan, terutama kepada PT IBU -- yang  menguasai pasar beras di Indonesia sekitar 1%-- justru menimbulkan dugaan jelek di tengah kalangan pengusaha dan masyarakat.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), misalnya, menilai penggerebekan Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri terhadap gudang beras PT Indo Beras Unggul di Bekasi atas dugaan penimbunan, sarat politis dan persaingan bisnis.

Kepala Kebijakan Publik Apindo, Danang Girindrawardhana mengatakan sejatinya dalam proses penggerebekan itu harus ada klarifikasi terlebih dahulu.

"Pola penggerebekannya tidak adil, langsung melakukan penindakan. Harusnya diklarifikasi dulu, diperiksa dan ditanyai di kantor. Tidak langsung gerebek," ujarnya, Rabu (26/7/2017).

Danang mengaku heran dengan pola penggerebekan, karena hal yang disangkakan kepada PT IBU bukan penimbunan, tetapi beras subsidi. "Makanya, itulah yang menjadi pertanyaan para pengusaha. Jadi kesannya mengada-ada," katanya.


Sebenarnya apa yang dilakukan PT IBU juga banyak dilakukan oleh pengusaha lain di Indonesia. Artinya, hampir semua petani menghasilkan berasnya menggunakan pupuk subsidi.

Berarti,  pengusaha yang membeli beras petani yang menggunakan pupuk subsidi harus disamakan semua dengan PT IBU.

"Harusnya semua perusahaan penggilingan yang membeli beras petani, harus disangkakan semua. Kecuali perusahaan yang impor beras," kata dia.

"Saat ini sedang euforia model penangkapan dan penggerebekan ala sinetron. Lucunya lagi, setingkat menteri mau mendatangi perusahaan yang hanya menguasai 1% pasar," ungkap dia.

Kita berharap, kasus ini, tidak mengkaitkan dengan urusan politik lantaran sosok Komisaris Utama PT IBU --Anton Apriyanto, mantan Menteri Pertanian di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-- yang merupakan tokoh PKS, yang saat ini bukan partai pendukung pemerintah. Apalagi kalau ada unsur dendam pribadi.

Yah penegakan aturan main, terlebih membasmi praktik busuk untuk pangan strategis yang diawasi pemerintah, sangat didukung.  Petani harus sejahtera dan harga terjangkau konsumen. Namun, menjadi boomerang jika dilakukan secara serampangan. Alih-alih demi kesejahteran malah merusak iklim usaha.  Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.

Hal yang jauh lebih berguna adalah mengajak semua pihak berbicara untuk membenahi iklim usaha  agar lebih baik. Tanpa kebencian. Tanpa prasangka buruk. Persoalan pertanian tidak bisa hanya diselesaikan oleh  Mentan atau Kapolri atau Mendag sendiri. Bahkan jika mereka bersatu.

Maraknya persoalan  di sektor pertanian --dari hulu hingga hilir-- bukan barang baru. Setidaknya, saat ini dan untuk satu hal, bagaimana pemerintah   menyelesaikan persoalan rantai pasok yang dianggap panjang.  

Jangan lagi sekedar berwacana dan  berteriak-teriak rantai pasok manakala  ada gejolak harga pangan.  Termasuk teriak-teriak soal kartel. Selain membuat banyak orang tersinggung , tidak menimbulkan simpati di mata orang banyak.

Apalagi, harus diakui, dalam mensukseskan program swasembada pangan, pemerintah lebih banyak  hanya mengumbar bantuan gratis seperti benih dan  traktor di daerah. Kepada siapa saja, termasuk mahasiswa disuruh tanam jagung, demi  produksi tidak kurang. Itu oke saja. Namun, akibatnya, sentuhan binaan sebagai entrepreneur kepada petani, terseok-seok jika tiak bisa dikatakan nihil.

Memenuhi permintaan Presiden Jokowi soal pangan bukan harus merusak iklim usaha. Presiden juga  tidak mau programnya justru menimbulkan persoalan baru. Jokowi berkeinginan  petani lebih sejahtera dan  produsen pangan dalam negeri makin besar andilnya dalam mencukupi kebutuhan pangan. Bukan hancur luluh lantak.

Kita pun setuju dengan tekad Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnaavian yang menegaskan  jajarannya serius untuk memberantas mafia beras. Polri tidak menginginkan masyarakat menjadi korban dari permainan mafia beras yang sudah sangat mencederai rasa keadilan. Apalagi membawa persoalan beras ke ranah politik.

Saya jadi ingat omongan Pak SBY: Jangan gunakan kekuasaan melampaui batas…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper