Bisnis.com, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan kebijakan ekonomi Indonesia yang terlalu mudah mengkuti satu paham ekonomi dunia membuat target pertumbuhan dan pemerataan tidak tercapai.
Hal itu disimpulkan JK dalam sambutannya pada acara Simposium Nasional bertajuk “Sistem Perekonomian untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Sesuai UUD 1945” di Gedung MPR, Rabu (12/7/2017).
Turut hadir pada acara simposium tersebut Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD Oesman Sapta Odang dan para pimpinan lembaga parlemen dan lembaga negara lainnya. Sedangkan dari kalangan nara sumber simposium ekonomi tersebut, hadir di antaranya pakar ekonomi Emil Salim, Menko Perekonomin Darmin Naution, Didik J Rachbini dan Sri Adiningsih.
Menurut JK, dengan tidak tercapainya pertumbuhan dan pemerataan sesuai yang diinginkan ideologi Pancasila maka secara ekonomi Indonesia sulit mencapai pertumbuhan. Saat ini Indonesia tertinggal 10 tahun dari Malaysia dan Thailand akibat kelemahan kebijakan pada masa lalu.
Penyebab kelemahan itu, ujar JK, adalah karena Indonesia terlalu mudah mengikuti satu paham ekonomi dalam menghadapi satu situasi. Apalagi kecenderungannya adalah mengambil kebijakan yang terlalu hitam-putih.
Krisis Moneter
Baca Juga
Dia mencontohkan ketika terjadi krisis moneter pada 1998 yang salah satu penyebabnya akibat krisis kepercayaan pada sektor perbankan. Kemudahan perizinan perbankan telah membuat 250 bank muncul karena siapa saja bisa memiliki bank asalkan memiliki modal.
Ketika itu, ujar JK, pemerintah mengiktui alur pikir yang dianggap paling benar saat itu. Pemerintah kemudian memberikan jaminan menyeluruh atas kerugian bank (blanket guarantee) .
Akibatnya, ketika muncul krisis pemerintah harus mengeluarkan dana hingga hingga ribuan triliun yang dicatat sebagai kerugian.
“Kita dengan mudah mengikuti satu paham ekonomi. Kita suka mengambil kebijakan yang hitam-putih,” ujarnya di depan para peserta simposium, Rabu (12/7/2017).
Sedangkan kesalahan berikutnya adalah terlalu banyaknya subsidi terutama pada sektor energi. Subsidi pada sektor energi itu, ujarnya, hampir mencapai Rp400 triliun atau 25% dari seluruh anggaran.
“Kerugian atas keduanya mencapai sekitar 6.000 triliun atau lima tahun kalau digunakan untuk membangun infrastruktur,” ujarnya.
Pada bagian lain, JK menyatakan bahwa kalau pemerintah konsekuen pada pemerataan maka DPR harus mendahulukan APBN yang lebih memberikan belanja besar pada pembangunan kemasyarakatan. Sekarang anggaran pembangunan tinggal 20% karena anggaran rutin sudah mencapai 80%.
Terkait ekonomi Pancasila, lebih jauh JK mengatakan bahwa pada dasarnya sistem ekonomi itu memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan. Salah satu caranya adalah memperkuat semangat kewirausahaan di kalangan generasi muda.