Bisnis.com, JAKARTA - Nilai Tukar Petani (NTP) bukanlah satu-satunya indikator yang dapat menilai kesejahteraan petani. Karena itu pernyataan yang menyebutkan kesejahteraan petani menurun karena NTP turun kurang tepat.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi mengatakan hal itu menanggapi tudingan pernyataan Faisal Basri yang menyebut NTP petani hingga Februari 2017 menurun dengan tolok ukur penurunan daya beli petani terhadap kendaraan roda dua.
"NTP bukanlah satu-satunya indikator kesejahteraan petani. Di samping NTP, ada Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yang lebih mencerminkan kelayakan usaha petani," jelas Agung di Kantor Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta, Senin (20/3/2017).
Agung menjelaskan, kemampuan daya beli petani juga bisa dilihat dari upah buruh tani. BPS menyebut upah nominal harian buruh tani nasional Februari 2017 naik 0,55 persen dibandingkan Januari 2017. Demikian juga upah riil buruhtani naik 0,16 persen. Ini menggambarkan peningkatan daya beli buruh tani.
Bila ingin mengukur naik turunnya NTP, lanjut Agung, ia mengimbau Faisal Basri untuk mengukur NTP dalam kurun waktu enam bulan atau satu tahun. Karena berdasarkan data NTP tahun 2016 diketahui mencapai 101,65 meningkat 0,06% dibandingkan dengan NTP 2015 yang sebesar 101,59.
NTUP rata-rata nasional 2016 juga berada di posisi tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, NTUP mencapai 109,86 atau naik 2,3% dibandingkan dengan 2015. Lebih tepat lagi, apabila kesejahteraan petani itu juga diukur berdasarkan aset yang dimiliki, apakah meningkat ataupun menurun dari tahun ke tahun.
"Naik turunnya NTP tidak semestinya diukur secara bulanan atau musiman," jelas Agung.
Agung mengakui bila investasi pemerintah pusat dalam bidang infrastruktur, alsintan, serta subsidi pupuk dan bantuan benih akan berdampak pada menurunnya biaya produksi yang harus dibayar oleh petani, yang ini mungkin tidak pernah diperhitungkan dalam menghitung NTP.
Secara logika, katanya, jika harga yang harus dibayar petani bisa ditekan, pendapatan bersih petani pun akan meningkat.
Mengingat sebagian besar petani di perdesaan, maka indikator kesejahteraan petani dapat dilihat dari tingkat kemiskinan maupun gini rasio di perdesaan.
Jumlah penduduk miskin di perdesaan juga semakin berkurang dari 17,67 juta jiwa pada Maret 2016 menjadi 17,28 juta jiwa pada September 2016. Juga semakin menurun dibandingkan dengan 2015. Menurunnya angka kemiskinan di pedesaan ini merupakan prestasi besar.
Gini rasio di perdesaan juga semakin membaik, menurun dari tahun ke tahun. Gini rasio September 2016 berada di angka 0,316, turun dibandingkan dengan Maret 2016 (0,327) maupun September 2015 (0,329). "Rasio ini jauh lebih kecil dibanding rasio di perkotaan dimana pada September 2016 masih 0,409," tegas Agung.
Ia menjelaskan bila pemerintah melakukan banyak hal untuk menyejahterakam petani, di antaranya memotivasi petani untuk selalu berproduksi secara berkelanjutan adalah melalui pengendalian harga. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan harga dasar ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan margin yang wajar diterima oleh petani dan tidak mendongkrak inflasi.
Sebagai contoh HPP untuk gabah kering panen (GKP) ditetapkan Rp 3.700/kg sampai dengan kadar air 30% (Permentan No.3 /2017). Manakala harga di tingkat petani lebih rendah dari HPP tersebut, maka pemerintah melakukan intervensi pembelian gabah petani pada harga HPP. Selain itu juga meluncurkan program Asuransi Usaha Tani (AUT). Sampai dengan saat ini, sudah 656.000 hektare lahan petani yang sudah diasuransikan dan hampir seluruh lahan usaha tani yang terkena puso akibat bencana telah mendapatkan ganti rugi
"Ini menunjukkan bahwa pemerintah hadir ketika petani mengalami permasalahan dan semata-mata ditujukan untuk melindungi petani sebagai pejuang penyedia pangan," ujar agung.