Bisnis.com, JAKARTA - Goris Dengekae Krova, seorang lamafa nelayan masyarakat adat Lamalera, terancam kriminalisasi karena melakukan kegiatan yang telah dilakukan secara turun temurun dan menjadi sumber kehidupan bagi banyak anggota komunitasnya.
Goris terancam dipidana, karena menangkap ikan pari jenis pari manta (Manta birostris). Goris juga mendapat penahanan sewenang-wenang tanpa diberikan surat perintah pemanggilan dan penahanan dari Kepolisian Resort Lembata.
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dalam rilisnya, Rabu (7/12/2016), mengatakan, Goris merupakan anggota dari komunitas nelayan masyarakat adat Lamalera sebagai komunitas orang asli yang menangkap ikan dengan cara yang telah dipraktikkan secara turun-temurun.
Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengemukakan, sejak abad ke-16 hingga kini, penangkapan ikan secara tradisional dengan teknologi yang sederhana masih dipraktikkan terhadap ikan-ikan besar, termasuk ikan pari dan ikan paus.
Praktik tradisional ini, lanjutnya, kadang memerlukan waktu hingga berhari-hari untuk menaklukkan ikan besar yang memiliki tenaga besar, bahkan melampaui batas perairan teritorial Indonesia.
Setelah mendapatkan ikan, para lamafa (orang yang memimpin dan menangkap dengan tombak) tidak mengambil sendiri hasil tangkapannya, tetapi memastikan kelompok yang paling rentan mendapatkan hasil tangkapan. Mereka adalah janda yang renta, perempuan dan anak, termasuk yatim dan piatu.
Kriminalisasi ini dilakukan oleh Kementerian Kelautan Perikanan, Kepolisian Resor Lembata dan Wildlife Crime Unit dengan dasar Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta.
"Keputusan tersebut tidak pernah melalui konsultasi publik, bahkan sosialisasi kepada masyarakat adat Lamalera, yang otomatis mengkriminalisasi segala penangkapan ikan pari manta jenis Manta birostris dan Manta alfredi," kata Marthin dalam rilis itu.
Goris terancam dikenai ketentuan pidana dalam UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, khususnya pasal 21 ayat (2) huruf b dan d jo pasal 40 dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda Rp100 juta.
Namun jika menggunakan UU Perikanan, Goris yang termasuk kategori nelayan kecil dapat dikenakan pasal 100C UU No 45/2009 yang melanggar pasal 7 ayat (2) huruf n UU No 45/2009 mengenai pengaturan atas jenis ikan yang dilindungi dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta.
Namun, hingga kini, Goris tidak mendapatkan kejelasan status apakah menjadi tersangka atau saksi. Tindakan kriminalisasi ini merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945, termasuk sila ke-5 Pancasila, pasal 18B ayat (2), pasal 28A, pasal 28C ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28I ayat (3), pasal 28H ayat (1), pasal 32 ayat (1), pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Termasuk juga UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam dan UU No 27/2007 jo UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
"Masalah yang dihadapi oleh Goris dengan kriminalisasi ini merupakan pelanggaran terhadap komitmen Indonesia atas implementasi Pedoman Perlindungan Perikanan Skala Kecil FAO Tahun 2014 yang berbasiskan pendekatan hak asasi manusia dalam perikanan."