BIsnis.com, JAKARTA - Badan Restorasi Gambut atau BRG memperkirakan dibutuhkan dana Rp10 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan untuk merestorasi 35% lahan gambut dari total 2,6 juta ha lahan yang terbakar pada 2015 lalu.
Nazir Foead, Kepala BRG mengatakan, pihaknya sudah menyusun rencana restorasi lahan gambut salah satunya dengan menanami berbagai jenis tanaman yang cocok pada lahan tersebut, salah satunya sagu.
“Sagu sangat cocok buat gambut karena senang tumbuh di tanah basah dan air. Sagu dapat tumbuh di genangan air,” katanya, Jumat (2/12/2016).
Menurutnya, penggunaan tanaman sagu untuk memulihkan lahan gambut sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No.1/2016, yang menjadi dasar pembentukan BRG.
Menurut Nazir, semakin basah tanahnya, justru sagu akan tumbuh semakin subur dan tidak akan mati. Budi daya tanaman sagu membawa dampak sangat positif, karena secara ekologis sagu memiliki kemampuan menyimpan air.
Dia menjelaskan, pohon sagu memang termasuk investasi jangka panjang karena tidak boleh ditebang untuk diambil patinya sebelum berusia delapan tahun. Pohon jenis ini pun menurutnya bisa beregenerasi secara alamiah seperti pisang sehingga ekosistem lahan gambut bakal terus terjaga.
Seperti diketahui, lahan gambut terbentuk di lahan basah dan memiliki jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa pepohonan yang setengah membusuk oleh genangan air sehingga memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Sebagian besar lahan gambut masih berupa hutan yang menjadi habitat tumbuhan dan satwa langka.
Lahan gambut bisa ditemukan di hampir semua negara, mulai dari iklim kutub, subtropis hingga tropis. Asia Tenggara memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia yaitu sekitar 60% dari total area gambut tropis di dunia atau sekitar 27 juta hektar dan sekitar 83% terdapat di Indonesia, yang sebagian besar tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
“Tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan air hingga berkali-kali lipat dari bobotnya. Oleh karena itu perannya sangat penting dalam hidrologi, seperti mengendalikan banjir saat musim hujan dan mengeluarkan cadangan air saat kemarau panjang. Kerusakan yang terjadi pada lahan gambut bisa menyebabkan bencana bagi daerah sekitar,” ujarnya.
Lahan ini, menurut Nazir, pada dasarnya tidak mudah terbakar secara alami bahkan pada daerah beriklim kering sekalipun. Namun, lahan gambut di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengalami laju kerusakan tertinggi di dunia yang terutama akibat pengelolaan yang kurang tepat dari aktivitas konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Menurutnya, pemanfaatan lahan gambut untuk budi daya tanaman sagu atau rumbia memiliki dampak sangat positif, bukan hanya secara ekologis, namun juga secara ekonomis, karena budi daya sagu di lahan gambut memilik pola penanaman sangat sederhana, tanpa membutuhkan perawatan khusus.
Tidak hanya untuk restorasi gambut, seperti banyak diketahui, tanaman sagu juga memiliki banyak aspek positif untuk kesejahteraan masyarakat sekitar khususnya dan juga nasional pada umumnya.
“Vegetasi sagu berfungsi untuk membersihkan udara dan menghasilkan oksigen yang sangat diperlukan makhluk hidup. Selain itu apabila dibudidayakan dengan baik sagu dapat menjadi komoditas pangan penting demi menunjang program ketahanan pangan nasional dan juga membantu pemerintah dalam mengurangi impor gula. Belum lagi, pemanfaatan kulit sagu maupun ampas sagu yang dapat digunakan untuk menghasilkan biomass yang dapat mendukung program energi terbarukan pemerintah,” tambahnya.
Dwi Asmono, anggota Dewan Pakar - Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI), mengatakan bahwa Indonesia memiliki hampir lebih dari 90% total luas areal sagu di dunia, yaitu 5,5 juta ha dari total 6,5 juta ha area sagu di dunia.
Menurutnya, dalam jangka pendek, sagu dapat membantu pemerintah mencegah bencana kebakaran hutan di lahan gambut, dan dalam jangka panjang tanaman multiguna ini dapat membantu pemerintah mewujudkan ketahanan pangan nasional, mengurangi impor beberapa bahan pangan utama, sumber energi alternatif masa depan dan juga meningkatkan kualitas hidup dan sosial-ekonomi masyarakat sekitar dan nasional pada umumnya.