Bisnis.com, JAKARTA – Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) menilai penurunan gas industri yang akan segera diputuskan pemerintah sangat membantu daya saing industri hilir yang selama ini menggunakan gas sebagai bahan baku utama.
Direktur Utama PIHC Aas Asikin Idat mengharapkan penurunan gas industri yang akan segera diputuskan pemerintah dapat mencapai di kisaran US$3-US$4/MMbtu.
Saat ini, dia mengakui harga gas industri yang tinggi membuat daya saing produksi pupuk tergerus dibandingkan dengan produksi dari luar negeri. Pasalnya, gas menyumbang 70% dari bahan baku utama pembuatan pupuk.
Aas menjelaskan bahwa rata-rata harga gas industri yang dipasok ke PIHC saat ini berada di kisaran US$6,5-8,5/MMbtu. Dengan harga segitu, dia mengatakan biaya produksi PIHC lebih mahal US$50-US$60/ton dibandingkan dengan produsen pupuk lainnya, seperti China dan Rusia.
“Saat ini biaya produksi kita sangat jauh di atas dengan yang ditawarkan produsen luar negeri. Dengan penurunan ini, minimal cost kita dapat bersaing dengan luar negeri,” ujarnya, di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (4/10/2016).
Sampai kuartal III/2016, ekspor urea PIHC hanya 694.000 ton dari target ekspor sampai triwulan III 1 juta ton. Sampai akhir tahun, PIHC menargetkan ekspor urea sampai 1,2 juta ton.
Adapun, kapasitas produksi PIHC diestimasi mencapai 13,38 juta ton, dengan estimasi urea mencapai 8,8 juta ton, dan sisanya merupakan gabungan dari NPK, ZA, SP36 dan ZK.
Dari pemangku kepentingan di sektor hulu gas, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mengatakan kendala harga gas industri yang belum turun salah satunya disebabkan cadangan gas yang kecil dan tersebar jauh di dalam negeri, sehingga membuat ongkos produksi di setiap blok berbeda.
“Kedua mengenai teknologi yang digunakan. Kalau teknologi sangat tinggi dan complicated tentu saja capex (belanja modal) juga besar," ujarnya.
Terakhir, berkaitan dengan tingkat pengembalian moda (Internal rate of return/IRR). Lokasi yang sulit dengan ketersediaan cadangan gas yang tergolong sedikit membuat kegiatan pencarian dan pengeboran gas menimbulkan risiko yang tinggi, sehingga membuat daya tarik investasi menurun.
"IRR berapa yang dipegang? Investor-investor luar negeri mungkin untuk IRR dalam kalkulasi-nya memasukkan berbagai risk yang menurut mereka apakah country risk atau semacamnya itu yang perlu dikonfirmasi," jelasnya.
Dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo, pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga gas untuk 10 sektor dan 1 kawasan industri menjadi maksimal US$6/MMbtu dari rata-rata saat ini US$9,5/MMbtu di hilir.
Kajian penurunan harga ini akan masuk tahap finalisasi paling lambat pada November 2016 dan ditargetkan berlaku efektif per 1 Januari 2017.