Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Perlu Selidiki Dugaan Kartel Hortikultura

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Barat meminta pemerintah menindak tegas dugaan praktik kartel pada sektor hortikultura yang kerap menyebabkan harga beberapa komoditas di sektor tersebut bergejolak.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, BANDUNG - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Barat meminta pemerintah menindak tegas dugaan praktik kartel pada sektor hortikultura yang kerap menyebabkan harga beberapa komoditas di sektor tersebut bergejolak.

Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat (Jabar) Entang Sastraatmadja mengatakan selama ini dugaan praktik kartel pada sektor hortikultura bisa terjadi. Kondisi ini ditandai dengan beberapa komoditas di sektor hortikultura seperti harga bawang merah yang kerap bergejolak, padahal produksi melimpah.

Menurutnya, dugaan praktik kartel pada sektor hortikultura sangat terselubung berbeda dengan sektor peternakan seperti ayam.

"Di sini peran pemerintah mencari tahu apakah dugaan praktik kartel ada atau tidak. Tapi, kami menduga praktik ini pasti ada," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (11/4/2016).

Dia menjelaskan, dugaan praktik kartel di sektor hortikultura terjadi karena luput dari pantauan pemerintah. Saat ini pemerintah masih memprioritaskan tanaman pangan padi, jagung, dan kedelai (pajale) sehingga sektor hortikultura jadi "sasaran empuk" bagi para pelaku kartel.

"Jangan salah, beberapa komoditas hortikultura seperti bawang merah cukup berkontribusi besar terhadap inflasi," katanya.

Di sisi lain, pemerintah perlu mengamankan harga sektor hortikultura dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Hortikultura. Dalam aturan itu salah satunya mengisyaratkan tindakan seperti dugaan praktik kartel harus diatasi.

"Pemerintah perlu mengamati mulai dari produksi, pasar, hingga level konsumsi untuk mengetahui dugaan praktik kartel," ujarnya.

Dia menambahkan, merujuk pada nilai tukar petani (NTP) hortikultura pada Maret lalu yang naik 0,3% dari 106,74 menjadi 107,09 belum memberikan kesejahteraan pada petani.

"Jadi NTP ini merupakan salah satu indikator, kalau ada kenaikan berarti petani bisa sejahtera. Tapi ini belum ada tanda yang signifikan," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan potensi pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Monopoli Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat semakin besar.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper