Bisnis.com, JAKARTA – Musim kemarau yang bersifat basah yang diprediksi terjadi di paruh kedua tahun ini diprediksi berpotensi menurunkan produktivitas tebu. Kendati volume produksinya meningkat, rendemen tebu diprediksi turun hingga 15%.
Direktur Penelitian dan Pengembangan PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN), Gede WIbawa menyampaikan ada dua komoditas perkebunan utama yang diprediksi akan terganggu kinerja produksinya saat musim kemarau basah.
Pertama, komoditas tebu. Gede menjelaskan saat musim kemarau, musim giling tengah berlangsung dan jika terlalu banyak air, maka petani akan sulit memanen dan pengangkutan pun sulit dilakukan.
”Kemudian rendemen bisa turun karena terlalu banyak air. Tebu ini kan perlu musim kering saat membentuk gulanya. Kalau kemarau basah, rendemennya turun, ini kalau kita bandingkan dengan kondisi normal ya,” kata Teguh, Minggu (20/3/2016).
Menurutnya, meskipun volume produksinya cukup bagus, produksi gula berpotensi berkurang karena penurunan rendemen. Gede memprediksi produksi tebu bisa naik 5% namun rendemen bisa turun hingga 15%.
Kedua, kopi robusta. “Bisa turun produktivitas 20%-30% karena saat kemarau, komoditas ini justru sedang berbunga sehingga kalau udaranya lembab bisa gagal jadi buah,” ungkap Gede.
Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya menyampaikan prediksi tahun ini ada peluang terjadi dua anomali cuaca yaitu musimkemarau yang cenderung basah dan fenomena la nina yang mungkin menghampiri Tanah Air di penghujung tahun.
Kemarau basah yaitu meski mengalami musim kemarau, sebagian besar wilayah Indonesia tetap akan memiliki curah hujan cukup tinggi, berpotensi melewati intensitas ambang batas yaitu 150 mm. Indonesia akan mengalamikemarau mulai Mei mendatang.
Kemarau basah diprediksi terjadi pada peralihan dari musim kemarau yang dimulai Mei-Juni dan la nina yang diprediksi tiba di Indonesia pada sekitar Oktober-Desember. Kemarau basah terjadi menjelang la nina sehingga ada kemungkinan curah hujan yang lebih tinggi dari rata-rata.