Bisnis.com, JAKARTA – Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dinilai dapat menjadi ikon nasional untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia berkomitmen menjalankan praktik pengelolaan hutan berkelanjutan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ida Bagus Putera Parthama mengatakan dunia internasional kerap menyematkan citra negatif atas tata kelola hutan Indonesia. Selain produk hutan itu sendiri, komoditas perkebunan seperti kelapa sawit juga dianggap biang kerok pembalakan dan pembakaran hutan.
Alhasil, Putera menambahkan, kesuksesan implementasi SVLK akan berkorelasi dengan citra industri kelapa sawit itu sendiri. Sebaliknya, kegagalan SVLK akan menambah senjata negara maju bila sewaktu-waktu menyerang komoditas andalan ekspor Indonesia tersebut.
“Sekarang kita menghadapi isu pajak progresif CPO (minyak sawit mentah) di Prancis. Kalau ada SVLK, kita tidak perlu membuka banyak front dengan negara-negara konsumen,” katanya dalam acara diskusi Inisiasi Gerakan Beli Kayu Legal, Jumat (18/3/2016).
Sebagaimana diketahui, pemerintah Prancis telah mengajukan usulan pajak progresif CPO ke parlemen melalui rancangan undang-undang baru. Pajak progresif berupa tarif impor CPO dan turunannya itu akan naik secara gradual.
Pada 2017, tarif setiap ton CPO sebesar 300 euro, setahun kemudian melonjak menjadi 500 euro. Kenaikan menjadi 700 euro pada 2019, hingga berhenti di angka 900 euro.
Sontak, kebijakan itu mendapat protes dari pemerintah negara produsen CPO, termasuk Indonesia. Beberapa pejabat termasuk Menteri Perdagangan Thomas Lembong terbang ke Paris untuk melobi parlemen agar menolak usulan pemerintah Prancis.
Di lain sisi, masa depan SVLK berada dalam tanda tanya menyusul terbitnya Permendag No. 89/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan. Dalam beleid itu, pelaku usaha tidak lagi wajib menyertakan V-Legal (sebagai bukti SVLK) untuk 15 pos tarif. Yang masuk dalam kategori ini adalah barang-barang produk hilir.
Kemendag menilai kewajiban SVLK dapat memberatkan kalangan pelaku usaha kecil dan menengah. Bila ini terjadi, ekspor produk hasil hutan Indonesia dapat merosot. SVLK dinilai cukup diwajibkan untuk industri hulu.
Namun, Putera mengatakan tanpa bersifat mandatori dari hulu hingga hilir, SVLK berpotensi tak lagi dilirik oleh pelaku usaha. Pasalnya, ekspor dapat mudah dilakukan tanpa perlu memenuhi aspek legalitas. Oleh karena itu dia meminta agar Mendag Thomas Lembong kembali meninjau Permendag No. 89/2015.
“Semoga Permendag itu ada perbaikan. Bagaimanapun, SVLK adalah jalan terakhir perbaikan forest management kita,” tuturnya.