Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tak Setuju BK Kakao Dihapus, AIKI Usulkan BK Naik Jadi 15% Flat

Tak Setuju BK Kakao Dihapus, AIKI Usulkan BK Naik Jadi 15% Flat
Pekerja memeriksa buah kakao di Sunggal, Deli Serdang, Sumut, Selasa (8/1). /Bisnis.com
Pekerja memeriksa buah kakao di Sunggal, Deli Serdang, Sumut, Selasa (8/1). /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Setelah Asosiasi Kakao Indonesia(Askindo) mengusulkan penghapusan bea keluar dan PPN sebesar 10% karena dianggap membebani petani dan berpotensi menurunkan produktifitas biji kakao nasional, kini Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) meminta hal sebaliknya terkait Bea Keluar komoditas tersebut.

Direktur Eksekutif AIKI Sindra Wijaya mengatakan dirinya setuju untuk penghapusan PPN, karena selama ini menjadi beban baik bagi petani dan juga bagi industri pengolahan kakao. Tetapi untuk bea keluar kakao justru harus dipertahankan dan dibuat flat dengan tarif 15%.

“Hal ini untuk menjamin agar industri Pengolahan kakao di dalam negeri mendapatkan pasokan bahan baku dan mengurangi impor biji kakao,” kata Sindra kepada Bisnis, Senin (11/1/2016).

Saat ini industri kesulitan mendapatkan bahan baku, karena produksi kakao nasional hanya sekitar 400.000 ton, padahal kapasitas terpasang industri kakao saat ini mencapai 800.000 ton. Sindra mengaku tidak setuju jika BK dinilai hanya menjadi beban bagi petani.

Menurutnya, BK justru menjadi beban bagi industri kakao yang berlokasi di luar Indonesia. Hal tersebut terbukti ketika diberlakukan BK kakao pada 2010, industri pengolahan kakao yang ada di Malaysia melakukan relokasi pabriknya ke Indonesia. “Ini mereka lakukan untuk menghindari BK kakao.”

Sindra mengatakan, perdagangan kakao di Indonesia saat ini memang didominasi oleh industri pengolahan kakao di dalam negeri. Tetapi hal tersebut justru positif untuk petani karena rantai pasok biji kakao dari petani kepada industri menjadi semakin pendek sehingga harga yang didapat oleh petani menjadi semakin tinggi. Hal tersebut terlihat dari harga kakao saat ini yang jauh lebih tinggi dibanding harga sebelumnya pada 2010.

Berkembangnya industri pengolahan kakao di dalam negeri menurutnya justru sangat positif karena para investor telah menginvestasikan jutaan dolar AS untuk membangun pabrik, sehingga dapat menyerap ribuan tenaga kerja, membayar pajak, dan menciptakan nilai tambah.

“Yang lebih positif lagi adalah menciptakan multiplier effect yang sangat besar bagi perekonomian nasional karena industri ini membutuhkan support dari industri packaging, transportasi, perbengkelan, asuransi, perbankan, dan lain-lain,” kata Sindra.

Menurutnya penghapusan BK kakao bukan merupakan cara untuk meningkatkan pendapatan petani. Justru yang paling penting adalah peningkatan produktifitas yang saat ini hanya mencapai 0,3 ton/ hektar/ tahun, padahal potensinyabisa mencapai 2 ton/ hektar/tahun.

Untuk itu pemerintah, terutama Kementerian Pertanian, perlu melanjutkan Program Gernas Kakao dengan anggaran dibuat minimal hingga lima tahun kedepan. Program Gernas difokuskan pada bantuan pupuk, bibit sambung pucuk dan sambung samping, serta tenaga penyuluh lapangan.

“Kakao perlu mendapat bantuan pemerintah karena lebih dari 95% Perkebunan kakao berupa kebun rakyat.”


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper