Bisnis.com, JAKARTA -- Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakiri menjawab protes keras masyarakat atas kebijakan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dirasa memberatkan.
Lewat media sosial protes keras ini dilontarkan karena ada perubahan kebijakan sejak 1 Juli 2015, pencairan JHT yang semula hanya lima tahun keanggotaan diperpanjang menjadi 10 tahun. Itupun hanya cair 10% dan sisanya bisa diambil setelah usia 56 tahun.
Hanif menjelaskan JHT berfungsi untuk perlindungan pekerja ketika tidak lagi produktif, baik karena cacat tetap, meninggal dunia maupun memasuki usia tua.
Dana JHT itu, secara konsep kebijakan nanti diterimakan kepada para peserta secara gelondongan pada masa seperti itu dengan tujuan masa tua peserta terlindungi dengan skema perlindungan JHT itu.
Dalam ketentuan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 37 ayat 3 ditegaskan bahwa pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun. Pengaturan lebih lanjut tertuang dalam PP JHT yang baru hanya menjabarkan kata "sebagian" yaitu dana bisa diambil 30% untuk uang perumahan dan 10% untuk lainnya.
"Selebihnya bisa diambil pada saat peserta tidak lagi produktif sebagaimana penjelasan di atas. PP JHT tentu saja tidak mungkin menabrak UU SJSN itu," katanya dalam keterangan tertulis Jumat (3/7/2015).
Hanif mengasumsikan sebuah kasus sesuai ketentuan UU SJSN jika pekerja di-PHK, maka dapat pesangon dan apabila yang bersangkutan dapat bekerja kembali maka kepesertaan JHT dapat berlanjut. Jika pekerja meninggal sebelum usia 55 tahun, maka ahli waris berhak atas manfaat JHT.
Perbedaan
Menengok aturan sebelumnya dalam UU 3/1992 tentang Jamsostek yang dijabarkan dalam PP 1/2009 bahwa manfaat JHT dapat dicairkan setelah usia mencapai 55 tahun atau meninggal dunia atau pekerja di-PHK dengan ketentuan masa kepesertaannya 5 tahun dan waktu tunggu 1 bulan.
"Jadi kalau ada peserta yang sudah mengiur lima tahun dan yang bersangkutan di-PHK, maka yang bersangkutan bisa mencairkan dana JHT itu setelah ada masa tunggu satu bulan," ujarnya.
Perbedaan aturan lama dengan yang baru ini, menurut Hanif ada beberapa alasan. Pertama, karena mengacu mandat UU SJSN yang menegaskan klaim JHT setelah kepesertaan 10 tahun. Kedua, dalam UU SJSN tidak ada excuse kalau terjadi PHK, yang berbeda dengan UU Jamsostek.
Ketiga, secara substansi UU SJSN dan PP JHT yang baru sebagai turunannya mengembalikan spirit JHT sebagai skema perlindungan hari tua pada saat pekerja tidak lagi produktif.
"Kalau peserta di-PHK lalu dana JHT bisa dicairkan semua [sebelum memenuhi syarat pencairan] hal itu selain bertentangan dengan UU SJSN, juga keluar dari spirit perlindungan masa tua," jelasnya.
Pekerja di-PHK tentunya sudah ada skema pesangon sebagai instrumen perlindungan. JHT selama ini dikesankan seolah-olah seperti tabungan biasa. Itu yang dipahami peserta selama berlakunya Jamsostek dulu.
Begitu dikembalikan ke dalam spirit perlindungan hari tua sebagaimana dalam UU SJSN, ujar Hanif, maka timbul kerisauan walaupun dana JHT tidak akan hilang.