Bisnis.com, JAKARTA - Dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan No 18/2009 jelas tertera (pasal 29 ayat 5), pemerintah berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat di antara pelaku pasar. Disusul pasal 32 ayat 1: Pemerintah dan pemerintah daerah mengupayakan agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan budi daya ternak.
Kini, pemerintah dan keampuhan isi undang-undang tersebut tengah menghadapi ujian. Sektor peternakan kini tengah mengalami gejolak akibat kedua pasal itu, terlanjur diacuhkan yang berujung dengan kondisi terancamnya kelangsungan hidup peternakan rakyat.
"Keadaan sangat memprihatinkan. Jutaan kepala keluarga yang bergantung pada sektor peternakan ayam, bakal gulung tikar…" Demikian kesimpulan dalam dua dialog 'kecil' antar pelaku usaha di sektor poultry. Ada peternak, pedagang, perusahaan dan asosiasi.
Kini, porsi usaha mereka, direbut oleh perusahaan raksasa. "Mereka mempunyai kekuatan modal luar biasa. Persaingan usaha sudah tidak sehat," ujar Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (PINSAR) Indonesia Singgih Januratmoko. Ditambah lagi, ada pembiaran dari pemerintah selaku pembina usaha peternakan nasional.
Ekstrimnya, meminjam pernyataan Singggih, tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk melindungi peternak rakyat dari ancaman kehancuran. "Kami sudah dihantam gelombang kerugian luar biasa sejak dua tahun terakhir…" ujarnya.
Dalam dua tahun terakhir, pasokan bibit ayam pedaging (day old chick atau DOC) berlebih. Ini dipicu oleh ekspansi berlebihan dari breeder pasca kondisi perunggasan yang menguntungkan pada 2010-2012. "Lihat capital expenditure mereka …" ujar Ketua Dewan Pembina Pinsar, Hartono.
Perusahaan Peternakan di Bursa Efek Indonesia
- Pakan Ternak
Charoen Pokphand Indonesia Tbk
Japfa Tbk
Malindo Feedmill Tbk
Sierad Produce Tbk
- Peternakan
Cipendawa Tbk.
Multibreeder Adirama Ind. Tbk
Sejak 2010 hingga 2014, ekspansi agresif mereka tampak dari laporan belanja modal. Terutama perusahaan-perusahaan yang telah go public. Terutama di bidang pembibitan ayam pedaging, menghasilkan perkembangan penguasaan pasar pembibitan dan budidaya ayam pedaging yang menjurus pada praktek monopoli oleh perusahaan tertentu. Charoen Pokphand Indonesia (CPIN) Tbk, misalnya, total 2010-2014 sudah Rp8,6 triliun, Japfa (JAPFA) mencapai Rp4,41 triliun dan Malindo Feedmill (MAIN) Tbk sebanyak Rp1,7 triliun.
Kini, merujuk pada Capex itu, membuat daya serap DOC tahun ini diprediksi berlebih. Diprediksi menjelang akhir 2015, produksi DOC akan mencapai 73 juta ekor/mingu, daya serap pasar 42 juta - 47 juta ekor per minggu. Jumlah grandparent stock (GPS) 2014 sebanyak 902.000 ekor terdiri dari bibit GPS impor plus produksi dari great grandparent stock lokal. "Ini lonjakan yang sangat spektakuler dibanding 2012 sebesar 554.000 ekor atau naik 62%," tutur Hartono.
Kondisi itu berpotensi menyebabkan produksi DOC ayam pedaging pada 2015 melambung mencapai 64 juta ekor/minggu dan 2016 mencapai 90 juta ekor atau dua kali lipat dari dari daya serap pasar yang ada. Bika itu terjadi --tanpa ada pemangkasan populasi GPS dan paren stock (PS)--dipastikan peternak dakyat bakal terbantai. Atau meminjam istilah para peternak rakyat," Tahun pembantaian peternak rakyat."
Lalu, peternak rakyat yang bangkrut akan diambil alih usahanya oleh perusahaan raksasa yang melakukan over ekspansi tersebut. "Ada yang off dan diserahkan ke perusahaan grup besar," kata Zulkarnain, Ketua Asosiasi Peternak Ayam Pedaging Swasta (APAPSU) Sumatra Utara. "Ini mencerminkan adanya predatory pricing," tutur Singgih dan Hartono.
Artinya, semua peternak rakyat yang sudah diambil oleh perusahaan raksasa dipaksa untuk membeli DOC dengan harga patokan produksi saat harga jatuh. Rugi? Jelas. Namun, dalam laporan penjualan, terlihat untung. Dengan kondisi itu, bagi perusahaan publik, kinerja terlihat baik dan mendorong harga saham mereka. Dengan begitu, kerugian pembelian DOC yang murah oleh peternak yang terintegrasi dengan mereka, tertutupi.
Sepanjang 2014, diperkirakan, kerugian peternak budidaya dan pembibitan akibat dampak dari kelebihan pasok DOC dan daging broiler sudah mencapai Rp7,45 triliun dan Januari-Maret 2015 sekitar Rp2,55 triliun sehingga total sudah Rp10 triliun. "Ini persoalan serius.
Mentan jangan hanya mengurusi beras," ujar Sudirman, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), salah satu industri yang bakal ikut goyah jika persoalan over supply DOC dan daging broiler.
Sekali lagi, solusi persoalan ini, hanya satu cara: pangkas produksi DOC di level final stock yang diikuti pemangkasan populasi parent
stock, GPS dan GGPS hingga mencapai keseimbangan permintaan-penawaran.
Jika ini tak mampu dilakukan, industri ini, dalam waktu yang tidak lama lagi, bakal menghadapi persoalan serius. Inilah mengapa banyak orang mulai mewanti-wanti: Saham perusahaan poultry ke depan patut diwaspadai.
Lantaran, situasi saat ini, akan ikut menggerus kelangsungan hidup perusahaan besar lain --termasuk yang dikategorikan perusahaan
terbuka-- yang tidak memilik belanja modal besar. Produksi peternak binaan mereka pun bakal tergerus, yang memberikan implikasi berantai hingga ke kantong usaha mereka.