Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Kaji Untung Rugi Alokasi Gas ke Industri

Kementerian Perindustrian mengaku tengah memfinalisasi kajian soal loss and benefit untuk negara jika gas bumi difokuskan sebagai bahan baku industri, bukan komoditas.
Gas Alam /Bloomberg
Gas Alam /Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian mengaku tengah memfinalisasi kajian soal loss and benefit untuk negara jika gas bumi difokuskan sebagai bahan baku industri, bukan komoditas.

Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto menyakan pihaknya mendorong agar gas bumi tidak lagi dijadikan komoditas dagang melainkan modal pembangunan. Semestinya gas difokuskan sebaga bahan baku industri.

“Struktur industri tidak dalam karena banyak impor bahan baku. Untuk mendukung industri manufaktur, khususnya hulu harus bisa amankan bahan baku dan energi,” katanya, di Jakarta, rabu (1/4/2015).

Kemenperin mengaku sedang memfinalisasi kajian yang menghitung potensi keuntungan negara jika memfokuskan alokasi gas sebagai bahan baku industri. Tapi belum dapat dijelaskan lebih rinci hasil studi ini, yang pasti nilai tambah dari penghiliran gas bakal lebih besar.

Setidaknya dapat diproyeksikan dengan memanfaatkan gas bumi sebagai bahan baku industri maka umurnya lebih panjang. Cadangan gas bumi 2 triliun kaki kubik (TCF) sebagai bahan baku bisa tahan 30 - 40 tahun. Ketika hanya dijual sebagai gas alam cair cuma bertahan 12 tahun.

Kemenperin mendukung permintaan pelaku industri agar harga gas bisa ditekan sampai US$5 per MMBTu. “Agar bisa dorong industri menjadi pemain global ya bagaimana agar harga bahan baku dan energi affordable seperti industri di negara pesain,” kata Harjanto.

 

Dengan kata lain perlu mengubah cara pandang minyak dan gas bumi sebagai komoditas tumpuan setoran pendapatan negara. Sumber penerimaan digantikan dari kinerja industri pengolahan nonmigas yang lebih bernilai tambah dengan penghiliran gas sebagai feedstock.

 Perindustrian mengaku siap memaparkan kepada jajaran pemerintah lain soal cost and benefit dari penghiliran gas bumi ini. Kajian soal potensi keuntungan negara jelas diperlukan guna memperkuat argumen pelaku industri soal perlunya harga gas kompetitif.

 “Penghitungan ini perlu agar proposal yang kami ajukan jelas, tidak hanya asal meminta agar harga turun,” ucap Harjanto.

Secara umum pebisnis tidak menjadikan harga gas US$5 per MMBTu sebagai permintaan yang mutlak dipenuhi. Yang pasti dengan harga di atas US$9 per MMBTu bahkan rerata di atas US$10 per MMBTu tidak kompetitif bagi mereka, setidaknya pelaku industri menginginkan turun jadi US$8.

Ketua Asosiasi Perusahaan Keramik Indonesia (APKI) Elisa Sinaga menginginkan pemerintah berkomitmen untuk tidak memposisikan gas bumi sebagai pendapatan langsung. Sumber daya alam ini selayaknya menjadi stimulus bagi peningkatan kinerja industri.

 

“Makanya harus ada harga yang kompetitif dengan dunia, bukan harga yang murah tetapi kompetitif. Dan harga murah secara keekonomian memang tidak akan pernah ketemu,” katanya.

 

Di samping itu APKI juga menginginkan harga gas yang dibeli produsen keramik dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) maupun nonperseroan tidak ada perbedaan harga. Saat ini 77% pebisnis keramik adalah pelanggan PGN, tetapi 23% lain membeli dari pemasok lain.

 

“Kalau bisa disamakan harga antara PGN dan yang dari luar PGN. Gas ini setara dengan 35% dalam struktur biaya produksi keramik,” ucapnya.

 

Elisa membenarkan apabila harga gas untuk industri tak kunjung turun maka produksi akan susut. Pada tahun ini saja bisa terjadi penurunan 20%. Penyebabnya bukan semata harga gas, tetapi juga serapan pasar domestik melemah ditambah daya saing minim di pasar ekspor.

 

Penurunan produksi tersebut setara dengan Rp7 triliun dengan asumsi nilai penjualan (omzet) yang dicaplok mencapai US$36 triliun. Produsen ubin paling terpukul akibat beratnya ongkos produksi lantaran harga gas mahal, depresiasi rupiah, dan lain-lain.

 

Saat ini setidaknnya PGN meninjau kembali kontrak jual beli gas dengan produsen keramik. Sebelumnya terdapat keharusan volume kontrak gas. Volume yang tak terpakai tetap harus dibayar pebisnis sesuai jumlah yang tertera di dalam kontrak. Industri keramik, sebagai contoh, butuh 125 MMscfd per bulan.

Pelaku industri menginginkan jual beli gas disesuaikan volume yang terpakai saja. Ketiadaan volume kontrak sebetulnya menyulitkan PGN sendiri. Perseroan harus memprediksi ketersediaan gas dan tanpa volume kontrak sukar menetapkannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dini Hariyanti

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper