Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) mendesak pemerintah segera mengubah aturan BK kakao menjadi 15% flat pada awal April 2015. Sementara di sisi lain, Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) menolak usulan tersebut.
Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya mengatakan usulan perubahan aturan BK kakao tersebut sudah diajukan sejak lama, namun anehnya pemerintah belum memberikan keputusan terkait usulan tersebut.
“Ini sudah sangat mendesak sekali menurut saya. Karena pada tahun lalu, biji kakao yang diekspor itu masih ada sekitar 63.000 ton, sementara industri sudah kekurangan bahan baku, terbukti dengan adanya impor hampir 110.000 ton pada tahun lalu. Makanya ini harusnya dipercepat, kalau bisa per 1 April ini dikeluarkan,” kata Sindra kepada Bisnis, Senin (30/3).
Meski ekspor dalam bentuk biji tersebut hanya sekitar 15% dari total ekspor kakao dan produk olahannya, Sindra berpendapat bahwa perubahan aturan BK masih sangat diperlukan. Alasannya, harga kakao saat ini sangat fluktuatif. Jika harga di bawah US$2.750 per ton, maka tarif BK akan turun menjadi 5%. Hal tersebut diprediksi akan memicu para eksportir mengekspor biji kakao dengan volume yang lebih besar.
Sementara itu, dengan besaran BK yang tinggi, Sindra berharap dengan adanya BK yang tinggi, ekspor dalam bentuk biji akan berkurang sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan hal itu, otomatis impor juga akan berkurang. Saat ini, menurutnya, dengan kapasitas giling sebesar 700.000 ton, baru sekitar 400.000 ton yang terpakai karena kecilnya produksi bahan baku dalam negeri.
“Jadi utilitasnya masih rendah yang disebabkan karena produksi biji kakaonya menurun, otomatis ekspornya pun tidak bisa digenjot terlalu tinggi, karena memang tidak ada bahan yang diproses,” ujarnya.
Pengembangan kakao yang diolah di dalam negeri menjadi bahan setengah jadi menurutnya bisa meningkatkan nilai tambah kakao antara 25%-30%.
Sementara itu Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang menyatakan penolakannya terhadap usulan perubahan aturan BK kakao tersebut. Ada beberapa alasan yang menurutnya membuat perubahan BK tidak diperlukan. Menurutnya, dengan besarnya kapasitas giling industri yang lebih besar dari kapasitas produksi, membuat kemungkinan ekspor dalam bentuk biji semakin kecil.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, ekspor biji kakao mencapai 439.305 ton pada 2009 dan terus turun hingga mencapai 63.334 ton pada 2014. Zulhefi memperkirakan, ekspor biji kakao tahun 2015 paling besar hanya mencapai 15.000 ton saja.
“BK ekspor selama empat tahun ini berkisar antara 5%-10%. Dengan besaran tersebut, menurut data yang kita dapat, sudah tidak ada biji kakao yang mau diekspor lagi, jadi mau apa kita ubah lagi?” kata Zulhefi.
Sementara terkait nilai tambah, Zulhefi menilai bahwa pengolahan kakao menjadi bahan setengah jadi hanya memberikan nilai tambah sebesar 2%-5%, tidak sampai sebesar apa yang disebutkan oleh AIKI sebesar 25%-30%.
“Dulu biji kakao yang diekspor kan cuma 150.000 ton saja, devisanya US$1,6 miliar dolar. Setelah kita olah 350.000 ton, devisanya hanya US$1,2 miliar saja. Artinya bisnis ini tidak ada nilai tambahnya, seharusnya bisa nambah 2 kali lipat 3 kali lipat. Kalau naiknya hanya 2%-5% persen ya buat apa?,” katanya.