Bisnis.com, JAKARTA--Setelah World Bank dan IMF, giliran Asian Development Bank (ADB) memperingatkan pemerintah tentang risiko shortfall pendapatanyang mengancam rencana belanja negara sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan tahun ini.
"Risiko domestik adalah kekurangan pendapatan pemerintah. Kalau meleset akan terjadi penurunan pengeluaran, termasuk belanja modal. Ini bisa memperkecil prospek pertumbuhan," kata Deputy Country Director ADB untuk Indonesia Edimon Ginting, Selasa (24/3/2015).
Meski tak menyebutkan kisaran proyeksi shortfall, Edimon mengatakan upaya menggenjot penerimaan pajak itu akan teredam oleh perolehan yang rendah dari sektor minyak dan gas akibat ambruknya harga minyak mentah. Tahun lalu, pos migas berkontribusi hingga 14% terhadap total pendapatan pemerintah.
Sebelumnya, World Bank dan International Monetary Fund kompak memperingatkan bahwa target pemerintah dalam APBNP 2015 kelewat ambisius. Keduanyya memproyeksikan target pendapatan negara senilai Rp1.762 triliun akan meleset, yakni Rp282 triliun versi World Bank dan Rp235 trilliun versi IMF.
Alhasil, World Bank memprediksi belanja APBNP 2015 yang ekspansif akan melambungkan defisit fiskal menjadi 2,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) sedangkan IMF memandang defisit berisiko melebar hingga 2,4%. Padahal, APBNP 2015 mematok defisit hanya sebesar 1,9%.
Terkait hal tersebut, Edimon mengatakan bantalan yang paling bisa diandalkan adalah fleksibilitas pemerintah untuk memperbesar ruang defisit fiskal alih-alih mengorbankan belanja modal. Terlebih sedari awal, pemerintah telah menggadang-gadang belanja modal sebagai salah satu motor utama pertumbuhan tahun ini yang ditargetkan mencapai 5,7%.
Pemerintah menginginkan belanja modal sepanjang 2015 berkontribusi 4,6% terhadap PDB dari porsi tahun sebelumnya sekitar 3,8%. Dia mengingatkan, jangan sampai pemerintah mengulangi kesalahan tahun lalu.
Prediksi shortfall pajak sekitar 8% dari target membuat pemerintah memangkas sejumlah pos belanja sepanjang semester II/2014. Begitu pula dengan penyerapan belanja modal yang tak terserap maksimal sehingga kontribusi pemerintah terhadap PDB sangat minim.
Edimon menekankan, peningkatan kontribusi pemerintah selama momen transisi sangat penting. "Pemerintah harus menunjukkan porsi yang lebih besar. Apalagi tahun ini adalah transition time yang menentukan pertumbuhan bisa terangkat kembali ke kisaran 6% atau tidak selanjutnya," ungkapnya.
Di sisi lain, ADB juga memandang belanja modal yang ekspansif akan memicu importasi yang lebih masif, terutama impor mesin, peralatan, dan bahan konstruksi. Terlebih, dengan rencana pemerintah mendorong investasi langsung asing (FDI), pembangunan infrastruktur berkonten impor akan jauh lebih besar.
Adapun, ekspor diperkirakan meningkat tipis 1,2% secara year on year dengan negara tujuan utama Amerika Serikat dan India. Dengan skenario tersebut, ADB memproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan tahun ini berkisar 2,8% terhadap PDB.