Bisnis.com, JAKARTA—PT Semen Indonesia (Persero) Tbk memperkirakan penjualan semen domestik masih melesu di kisaran pertumbuhan -2% sampai akhir Maret 2015, sama seperti bulan sebelumnya.
Sekretaris Perusahaan Semen Indonesia Agung Wiharto menyampaikan siklus penjualan semen pada triwulan pertama umumnya memang lemah. Kemudian membaik pada triwulan kedua hingga puncaknya berada di triwulan ketiga.
Hanya saja awal tahun ini melemah agak parah karena faktor cuaca, sektor komoditas yang melemah, serta konstruksi dan infrastruktur yang belum bergerak signifikan.
“Penjualan semen Februari -2%. Kalau Maret kan masih belum selesai, tapi saya perkirakan masih akan minus sekitar itu [-2%] lagi sampai akhir Maret,”ujarnya kepada Bisnis.com.
Kondisi penjualan emiten berkode saham SMGR itu sejalan dengan melesunya penjualan semen nasional. Pada Februari lalu, penjualan semen di Indonesia menyusut hingga 6% dibanding periode yang sama 2014.
Untuk Maret 2015, Agung memperkirakan volume penjualan semen nasional masih akan negatif sekitar 4% pada Maret 2015 dan mencatatkan kinerja negatif pada triwulan pertama. “Kebutuhan industri di Indonesia rata-rata 4 juta-5 juta ton sebulan. Porsi SMGR sekitar 44% dari total kebutuhan di Indonesia,”sebutnya.
Depresiasi Rupiah
Secara operasional, depresiasi rupiah tak terlalu berpengaruh signifikan terhadap beban produksi perseroan. Agung mengatakan struktur pengeluaran emiten pelat merah itu hanya 7% yang menggunakan valas. Antara lain untuk perawatan, pembelian spare part dan beberapa material lain.
Di sisi lain, nilai pendapatan ekspor SMGR jauh lebih besar dibanding beban produksi berdenominasi valas. “Jadi kebutuhan dolar AS bisa kita penuhi dari ekspor semen yang dibayar dalam bentuk valas.”
Kendati demikian, depresiasi rupiah menyebabkan nilai investasi pembangunan pabrik baru membengkak signifikan hingga 19%. Pasalnya, sebagian besar peralatan untuk pembangunan pabrik berasal dari luar negeri.
Sebagai gambaran, perseroan mengalokasikan nilai investasi pembangunan pabrik Rembang berkapasitas 3 juta ton sebesar Rp3,7 triliun pada 2012 lalu. Saat itu, perhitungan kurs tercatat Rp10.000/US$.
Saat ini, investasi diperkirakan membengkak hingga Rp4,4 triliun dengan kurs yang hampir Rp13.000/US$. Rencananya, pembangunan pabrik akan selesai pada akhir 2016 jika tak ada hambatan teknis maupun lingkungan. []