Bisnis.com, JAKARTA—Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai pemerintah terlalu lunak sehingga memberi waktu selama enam bulan bagi PT Freeport Indonesia untuk mengkespor konsentrat hasil tambang.
Ketua Komite II DPD Parlindungan Purba mengatakan langkah pemerintah mencabut larangan ekspor konsentrat merupakan langkah tepat karena hal itu akan merugikan Indonesia. Namun tindakan pemerintah mencabut aturan itu menunjukkan ketidakkonsistenan dalam menjalankan aturan.
Menurut Parlindungan, keputusan pemerintah memberi waktu selama enam bulan hingga Freeport mendirikan tempat pemurnian hasil tambang (Semelter), menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah terhadap intervensi Amerika Serikat sebagai pemilik Freeport.
Parlindungan juga menilai Freeport belum menunjukkan keseriusannya membangun smelter. Padahal, pembangunan smelter merupakan poin krusial terkait ekspor hasil tambang di wilayah Papua yang juga akan memberi dampak ekonomi pada rakyat setempat.
Sementara itu, Anggota DPD Mesak Merin dari daerah pemilihan Papua mengatakan bahwa pemerintah pusat mengingkari komitmennya kepada rakyat Papua terkait pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat.
Langkah pemerintah menyetujui pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi tidak berniat untuk membangun perekonomian rakyat Papua yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.
Terkait keputusan itu, Mesak mengancam akan mendorong penghentian operasi perusahaan tambang terbesar di dunia itu kalau pemerintah masih tidak berpihak pada Papua.
“Tutup saja PT Freeport kalau tidak ada keberpihakan pada Papua. Saya meminta Presiden Jokowi bertanggung jawab,” ujarnya dalam satu acara konferensi pers di Gedung DPD, Rabu (28/1/2015).
Dia menegaskan sebelum Freeport membangun smelter di Papua, rakyat Papua akan menghentikan operasi perusahaan itu.