Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengurai Budaya Wani Piro di Sektor Pertambangan

Undang-undang (UU) No.23/2014 merupakan UU tentang pemerintahan daerah. Publik lebih mengenalnya sebagai UU yang mengatur tata cara pemilihan kepala daerah.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA--Undang-undang (UU) No.23/2014 merupakan UU tentang pemerintahan daerah. Publik lebih mengenalnya sebagai UU yang mengatur tata cara pemilihan kepala daerah.

Sehingga wajar jika tidak banyak yang tahu bahwa UU ini juga telah mengubah tatanan penyelenggaraan perizinan pertambangan.

UU No.23 tersebut beririsan cukup dalam dengan UU No.4/2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara.

Disahkannya UU Pemda itu pada 30 September 2014 oleh Presiden Indonesia kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan bersambung pada 2 Oktober 2014 diundangkan di Jakarta oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia kala itu, Amir Syamsuddin, telah memakzulkan pasal kewenangan pengelolaan pertambangan Mineral dan Batu bara yang ada di UU No.4/2009.

Sebagai informasi, pada UU No.4/2009 menyebutkan pemerintah kabupaten atau kota memiliki kewenangan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara dalam hal pembuatan peraturan, pemberian izin tambang dan melakukan pengawasan usaha pertambangan yang ada di daerahnya.

Namun, pada UU No.23/2014, pemerintah kabupaten atau kota tidak lagi memiliki kewenangan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara yang ada di daerahnya. Semua pengelolaan tersebut dialihkan ke pemerintah provinsi.

Pada pasal 407 UU No.23/2014 berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya.” Kedua pasal ini menegaskan adanya peralihan kewenangan itu.

Abdul Latief Baky, Wakil Ketua Umum Bidang Hukum dan Perundang-undangan Asosiasi pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) dalam presentasinya di sebuah seminar di Jakarta, menyebut UU 23 itu sebagai sentralisasi sektor pertambangan.

Lantas apa masalahnya? Latief secara gamblang menyebutkan bahwa peralihan kewenangan itu menimbulkan berbagai masalah.
Pertama, ada potensi resistensi atau sikap tidak kooperatif dari pemerintah kabupaten terkait dengan pemberian rekomendasi bagi pemohon IUP.

Kedua, ada potensi hambatan terhadap proses lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) terkait dengan pelimpahan kewenangan ke pemerintah provinsi.

Ketiga, kelangsungan usaha pemegang IUP sangat tergantung dari keharmonisan hubungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten setempat.

Keempat, potensi pungutan dan retribusi dari pemerintah kabupaten yang tidak sejalan dengan kebijakan di tingkat provinsi. Kelima, ada potensi dampak sosial yang ditimbulkan di wilayah usaha perusahaan pemegang IUP.

“Permasalahan diatas merugikan pemegang IUP yang seharusnya berhak melaksanakan kegiatan usahanya setelah mendapatkan izin dari pemerintah,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper