Bisnis.com, BATAM -- Suasana gedung lobi Hotel Holiday Inn di Batam, Kepulauam Riaui, pada Kamis (13/11/2014) malam terbilang sepi. Aktivitas cukup ramai setidaknya yang saya tahu ada di salah satu ruang pertemuan lantai 3.
Jajaran meja dan kursi yang membentuk huruf “u” di tengah ruangan padat terisi sejumlah juru warta dan para pelaku usaha industri yang bermukim di Batam. Mayoritas dari mereka bergelut di industri penunjang minyak dan gas bumi (migas) serta produsen elektronik dan telematika.
Ada empat kursi utama di sisi horisontal yang diisi moderator, perwakilan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas (Guspen Migas) , serta Asosiasi Produsen Pipa Pemboran Migas Indonesia (Apropipe). Selain itu hadir pula delegasi sejumlah perusahaan.
Mulai pukul 19.30 waktu Indonesia bagian barat, setiap pihak bicara bergantian, yaitu staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Pemasaran dan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Ferry Yahya, Direktur Eksekutif Guspen Migas Kamaludin Hasyim, dan Ketua Umum Apropipe Willem Siahaya.
Mereka menumpahkan curahan hati alias curhat kepada juru warta yang hadir. Perbincangan di Hotel Holiday Inn kala itu dalam rangka Forum Group Discussion (FGD) tentang peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN).
Entah apa alasan utama para pebisnis itu curhat. Mungkin lantaran ekspor kurang bergairah, sehingga penjualan domestik yang selama ini minim hendak digenjot. Yang pasti, mereka mengeluhkan soal minimnya pembelian dari konsumen di dalam negeri tak peduli oleh swasta maupun pemerintah.
“Kami [selama ini] doyan ekspor karena kami tidak dihargai di dalam negeri, maka kami mencari rumput tetangga,” ujar Willem sembari menatap berkeliling dari balik lensa kacamata tak berbingkai.
Dalam paparannya dia mencontohkan produk pipa pemboran migas buatan lokal kurang laku di negeri sendiri. Alasan yang paling sering didengarnya adalah produk barang lokal lebih mahal ketimbang beli dari negara lain.
Willem mengakui, tetapi tunggu dulu, untuk menjual barang di dalam negeri produsen harus menanggung beban 43% lebih berat dibandingkan dengan produk impor, sehingga harga lebih mahal. Persentase ini akumulasi dari 12 hal kewajiban produsen domestik yang tak dikenai produk impor.
Adapun 12 poin yang dimaksud a.l. depresiasi (investasi) diberi bobot 2%, pajak pertambahan nilai (PPN) 10%, pajak pendapatan 2%, PPH 21 sekitar 1%, pemberdayaan sumber daya manusia 5%, konservasi lingkungan 5%, dan konvervasi energi 3%.
Aspek lain ialah pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) 3%, sertifikasi mutu 3%, pembiayaan 3%, dan perkara tanggung jawab sosial kemasyarakatan dengan bobot sekitar 3%. Seluruh poin-poin ini disebut Willem sebagai kewajiban kepada negara.
“Kalau impor dinilai lebih murah itu tidak adil. Seharusnya mereka dibebankan [kewajiban] 43% juga, baru kita duduk bersama. Kami tuntut 43% ini dibebankan pula kepada importir atau kami dibebaskan,” tuturnya.
Peningkatan preferensi harga menjadi salah satu opsi yang ditawarkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian. Preferensi harga produk lokal untuk pengadaan barang dan jasa dipatok pada kisaran 25%, sekarang rerata 5% - 7%.
Ferry Yahya menyatakan apabila preferensi harga tidak dinaikkan menjadi 25% dampaknya terhadap P3DN takkan ampuh. Peningkatan penyerapan produk lokal dibutuhkan industri guna memacu daya saing di negeri sendiri padahal di pasar ekspor laris manis.
“Kalau P3DN diwajibkan maka produksi industri kita akan penuh dan akan menciptakan lapangan kerja. Ini adalah solusi, tapi [implementasi] butuh komitmen,” ujar dia.
Kalangan pengusaha menuntut pelarangan impor untuk produk serupa dengan barang lokal yang berkategori dilarang impor dan barang wajib dipergunakan, dari sumber manapun dengan cara apapun. Lelang pengadaan barang wajib dipergunakanpun diminta supaya cuma diikuti produsen lokal.
Industri dalam negeri yang diizinkan bergabungpun hanya mereka yang memenuhi ketentuan akumulasi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) ditambah bobot manfaat perusahaan minimal 40% dengan TKDN setidaknya 25%.
Program P3DN membutuhkan aturan khusus yang menaungi. Hal ini terangkum di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pemberdayaan Industri dan Tindakan Pengamanan dan Penyelamatan Industri.
Berdasarkan data yang diolah Kemenperin diketahui sepanjang tahun ini baru 32,60% belanja barang dan modal pemerintah yang digunakan untuk menyerap produksi dalam negeri. Total belanja barang senilai Rp201,8 triliun dan Rp205,8 triliun untuk belanja modal, total Rp407,6 triliun.
Ke depan Perindustrian bercita-cita menaikkan porsi produk lokal dalam anggaran belanja negara menjadi 40%. Target ini bukan perkara mudah. Apakah Kemenperin siap berargumen dengan Kementerian Keuangan yang mungkin akan menolak karena uang belanja akan bengkak, pasalnya barang lokal lebih mahal daripada impor?
“Poin-poin ini ada di Kementerian Keuangan. Kalau dari industri kami ingin apple to apple antara produk lokal dan impor,” kata Ferry.
Perlakuan setara atau yang disebut Ferry apple to apple menurut Guspen Migas tak bisa ditafsirkan telanjang bulat. Kamaludin menyatakan pebisnis sejatinya tak keberatan atas kewajiban yang mencapai 43% lebih besar daripada impor.
“Yang ingin saya tambahkan, cara panitia lelang dalam mengevaluasi lelang yang harus apple to apple,” ucap Kamaludin menjelang diskusi berakhir di kisaran pukul 22.45.
Maksud dia, 12 poin kewajiban yang harus dipenuhi produsen lokal perlu dimasukkan dan diperhitungkan dalam evaluasi. Hal ini bertujuan agar saat konsumen memandang barang buatan lokal tidak semata berhenti pada kalimat “ah, lebih mahal”.
Dunia usaha menginginkan pemerintah dan perseroan pelat merah menjadi lokomotif pemaksaan P3DN untuk barang yang sudah bisa dibuat di Tanah Air. Adapun pihak yang menjadi sasaran, yaitu pemerintah pusat dan daerah, BUMN/BUMD, serta proyek yang digarap pemerintah bersama perusahaan pelat merah maupun swasta.
Irvan Kamal Hakim, Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA), sependapat dengan pandangan tersebut Apropipe dan Guspen Migas. Untuk menjamin komitmen P3DN, menurut dia, perlu ada sanksi tegas. “Percepat peraturan pemerintah [yang atur itu] dan terapkan sanksi”.
RPP Pemberdayaan Industri dan Tindakan Pengamanan dan Penyelamatan Industri mencantumkan klausul sanksi bagi pembangkang program P3DN. Bentuknya dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, pemberhentian jabatan pengadaan, pencabutan izin, dan daftar hitam.