Bisnis.com, JAKARTA—Demi mempersempit kesenjangan, pemerintah baru membuka wacana menaikkan persentase transfer daerah.
Namun, mengingat efektivitas dan besarnya dana yang menganggur, sejumlah ekonom menilai pemerintah perlu memperbaiki beberapa hal sebelum porsinya dinaikkan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Muliadi Widjaja menilai pemerintah tak perlu menaikkan porsi transfer daerah terlampau besar. Pasalnya makin besar dana akan makin sulit pengawasannya.
Terlebih saat ini, kata Muliadi, sebagian besar dana dari pusat itu diperuntukkan bagi sektor yang tak produktif, utamanya untuk membayar gaji pegawai negeri sipil di daerah. Sementara itu, alokasi pada pos-pos yang lebih produktif, misalnya infrastruktur malah tidak didanai secara maksimal.
Hasil penelitian dari Indonesia Governance Index (IGI) baru-baru ini bahkan menunjukkan pemerintah daerah sangat bergantung pada dana perimbangan dari pusat untuk membiayai APBD-nya.
Sementara itu, penghasilan asli daerah (PAD) rata-rata hanya menyumbang 9%-10% terhadap APBD. Hal itulah yang mendasari kekhawatiran bahwa menggelembungnya transfer daerah dan dana desa akan memperbesar ketergantungan daerah pada pusat dalam hal fiskal.
Muliadi menilai jika memang ingin meningkatkan porsi untuk daerah, pemerintah harus memastikan kualitas pengunaan dana tersebut. “Harus ada kontrak pasti untuk apa saja dana tersebut dan ada evaluasinya tiap tahun. Kalau melanggar dipotong saja,” ungkapnya.
Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menambahkan, selain rencana yang matang pemerintah pusat juga perlu memperbaiki sistem transfer agar bisa dicairkan tepat waktu untuk meminimalisasi dana yang menganggur.
Dihubungi secara terpisah, Deputi Direktur Perkumpulan Prakarsa Setyo Budiantoro menuturkan seharusnya pemerintah membentuk aturan tertentu untuk membatasi porsi alokasi APBD pada tiap-tiap sektor.
Setyo mengambil contoh penerapan APBD di Brasil yang mematok alokasi dana maksimal 35% untuk menggaji PNS. Hal ini, katanya, selain memastikan kualitas pengeluaran juga membuat daerah lebih produktif.
Sebenarnya, sambung Setyo, daerah perlu melakukan asesmen dan analisis mendalam tentang sektor prioritas yang harus dikembangkan. “Tiap-tiap daerah bisa berbeda-beda. Harusnya ada indeks multidimensional yang mengukur bagian mana yang paling perlu diperbaiki,” ungkapnya.
Dengan demikian, dana dari pusat yang disalurkan ke daerah betul-betul bisa meningkatkan kesejahteraan dan menciutkan kesenjangan.
Sebelumnya, anggota tim ekonomi Jokowi Arif Budimanta mengatakan pemerintah seharusnya meningkatkan porsi transfer daerah dari 31,7% menjadi 50%.
“Harus diperlebar, termasuk rumusan terhadap pembagian yakni transfer daerah. Ke depan pemerintah harus mulai dari pinggiran dan desar dan tentu saja itu harus diikuti dengan kebijakan fiskal negara,” katanya.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 pemerintah dan DPR menyepakati porsi transfer daerah dan dana desa senilai Rp647 triliun dari belanja negara sebesar Rp2.039,5 triliun. Transfer daerah itu terdiri atas dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
Padahal data dari Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menunjukkan dana idle kuartal I/2014 mencapai Rp150 triliun. Meski tak menyebutkan apakah wacana ini akan dimasukkan dalam rancangan APBN Perubahan 2015, Arif meyakini usulan ini tak akan sulit diloloskan di parlemen.
“Saya yakin partai-partai lain juga memiliki dream yang sama. Daerah-daerah yang berada di luar Jawa bisa lebih dikembangkan,” ucapnya.