Bisnis.com, BANDUNG—Asosiasi Petani Kakao Indonesia Jawa Barat menilai putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap komoditi primer akan merugikan petani.
Penasihat APKAI Jabar Iyus Supriatna adanya PPN tersebut dikhawatirkan dibebankan kepada petani kakao oleh industri hilir.
“Kalau para buyers membebankan dampak PPN tersebut kepada para petani, tentu akan merugikan sebagai produsen utama kakao di hulu,” katanya kepada Bisnis.com, Minggu (10/8/2014).
Dia menjelaskan dengan adanya PPN tersebut oleh para pelaku industri hilir perkakaoan harus dibebankan pada konsumen makanan dan minuman perkakaoan. Menurutnya, diperlukan update struktur harga bisnis perkakaoan dari mulai on farm sampai of farm dan industri hilirnya.
“Sebenarnya kebijakan pemerintah soal penerapan PPN tersebut tidak tepat, karena saat ini kakao Indonesia menempati urutan ketiga produsen kakao di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana,” ungkapnya.
Dengan demikian, hal tersebut berpotensi menurunkan daya saing produksi kakao di tingkat internasional. Dia menjelaskan produksi kakao Indonesia 80% dihasilkan perkebunan rakyat dengan lahan yang sempit, sementara yang 20% dihasilkan swasta dan BUMN dengan lahan yang luas.
Dia mengharapkan pemerintah dan MA meninjau kembali putusan demi menjamin keberhasilan program hilirisasi komoditi kakao guna meningkatan daya saing dalam menghadapi perdagangan bebas Asean 2015.
Selain itu, pengetahuan petani terhadap pengolahan biji kakao masih kurang sehingga petani banyak yang menjual biji kakao dengan cepat tanpa melalui proses fermentasi. "Padahal itu mempengaruhi terhadap rasa yang menjadi berkurang, serta tidak ada nilai tambah untuk dijual," katanya.
Dia menyebutkan selisih harga kakao yang fermentasi dengan non-fermentasi tidak cukup besar yakni 10% dari harga jual kakao hasil fermentasi.
Saat ini luas perkebunan kakao di Jabar mencapai 10.000 ha dengan total produksi mencapai 2.000 ton per tahun.