Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pengusaha batu bara menilai rencana pemerintah menaikkan besaran royalti untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) setara dengan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tidak logis karena tidak mempertimbangkan kondisi riil di lapangan.
Ervina Fitriyani, General Manager PT Bina Insani Sukses Mandiri (BISM), mengatakan dengan rencana kenaikan royalti tersebut, dikhawatirkan akan mengganggu biaya produksi, apalagi dengan harga jual yang masih rendah.
“Selisih antara cost produksi dan harga jual sangat tipis. Bahkan ada produsen yang cost produksinya lebih tinggi dari harga jual,” jelas Ervina melalui keterangan resmi, Kamis (19/6/2014).
Dia mencontohkan, PT BISM sebagai pemegang IUP, dengan GAR 3.000-3.100, biaya produksinya sebesar US$18-US$20 per ton. Di sisi lain, harga jualnya US$26 per ton, ditambah biaya untuk transhipment 10% per ton.
Pada saat bersamaan, perusahaan juga harus mengeluarkan uang untuk kegiatan sosial dan CSR. “Dalam kondisi apapaun, perusahaan tetap harus mengeluarkan dana untuk biaya sosial. Masyarakat tidak peduli apakah kita sedang untung ataupun rugi,” ungkapnya.
Ervina yang juga Ketua tim CSR perusahaan tambang batu bara di wilayah Kutai Barat ini mengungkapkan semua perusahaan tambang batu bara di wilayah Kutai Barat telah menyepakati dana yang dikeluarkan perusahaan untuk program sosial, minimal 0,2 % dari pendapatan.
Dengan kondisi ini, maka mayoritas produsen batu bara kalori rendah menolak rencana kenaikan royalti tersebut. Padahal, untuk wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas sumber batu bara di Indonesia, 60% batu bara kalori rendah, sedangkan 35%-40% batu bara kalori tinggi.
Kebijakan tersebut, lanjutnya, akan memberikan efek berantai mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sampai berhentinya beroperasinya perusahaan.
"Mayoritas karyawan adalah tenaga kerja lokal yang tidak memiliki skill, tetapi kemudian diberikan pelatihan oleh perusahaan."