Bisnis.com, JAKARTA—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp5,51 triliun dalam 3 tahun terakhir akibat penggunaan tarif pajak dalam perhitungan pajak penghasilan (PPh) migas yang tidak konsisten.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2013, permasalahan inkonsistensi penggunaan tarif pajak dalam Production Sharing Contract(PSC) menyebabkan negara kehilangan penerimaan Rp1,78 triliun pada 2013, naik 29% dari tahun sebelumnya Rp1,38 triliun.
PSC merupakan dokumen perjanjian kontrak kerja sama antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan pemerintah yang ditandatangani oleh Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). PPh migas merupakan satu-satunya jenis pajak yang menjadi kewajiban KKKS.
Ketua BPK Rizal Djalil mengatakan inkonsistensi tarif pajak dikarenakan adanya perbedaan antara tarif pajak yang disepakati PSC dengan tarif pajak yang digunakan wajib pajak KKKS, yakni tarif tax treaty dalam pembayaran branch and profit tax.
“Potensi kehilangan penerimaan negara tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan secara uji petik oleh kami, atas penerapan tarif PPh oleh 25 KKKS untuk tahun pajak 2013,” ujarnya, Rabu (11/6/2014).
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara membandingkan antara pajak terutang yang termuat dalam Laporan Penerimaan Negara (LPN) dengan pajak terutang berdasarkan kontrak kerja sama yang diterima oleh BPK dari KPP Migas sampai 10 April 2014.
Oleh karena itu, BPK merekomendasikan kembali kepada pemerintah agar mengupayakan amandemen PSC dan/atau amandemen tax treaty terhadap KKKS yang menggunakan tax treaty sehingga potensi berkurangnya pendapatan negara dari PPh migas tidak terjadi.
BPK juga merekomendasikan Menteri ESDM agar berkoordinasi dengan Kepala SKK Migas untuk melakukan amandemen PSC terhadap KKKS yang menggunakan tax treaty untuk memberikan kepastian bagian negara dari pelaksanaan PSC.
Di sisi lain, penerimaan pajak dari Ditjen pajak mencapai Rp832,66 triliun, atau 90,44% dari target penerimaan pajak Rp921 triliun. Dengan demikian, selisih antara target dan realisasi penerimaan (shortfall) pajak 2013 sebesar Rp88 triliun.
Angka shortfall itu akhirnya memecahkan rekor shortfall sebelumnya, Rp47 triliun, sekaligus jadi shortfall terbesar sepanjang sejarah, melengkapi kegagalan Ditjen Pajak dalam memenuhi target penerimaan pajak selama 3 tahun berturut-turut.