Bisnis.com, JAKARTA—Ekonom menilai program pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Jusuf Kalla dalam beberapa pekan terakhir ini masih sebatas pencitraan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan sebagian besar program ekonomi yang dicanangkan masing-masing pasangan capres dan cawapres terlalu ambisius.
“Masih lebih banyak pencitraannya. Program ekonomi dari capres seharusnya lebih realistis dan kongkrit, sehingga masyarakat bisa mengukur kebijakan mana sih yang betul-betul realistis dan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik,” ujarnya, Minggu (25/05/2014).
Enny menilai seluruh masyarakat, baik dari pelaku usaha, maupun membutuhkan adanya kepastian. Oleh karena itu, masing-masing kandidat tidak perlu muluk-muluk dalam program pembangunan ekonominya, meskipun ada rasa optimisme dari Tanah Air.
Target pertumbuhan ekonomi 10% per tahun dari capres Prabowo contohnya. Dia menilai target tersebut tidak realistis untuk kondisi saat ini. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di atas 5% saat ini sebenarnya tergolong tinggi, dan hanya kalah dari Tiongkok dan India.
Bahkan, negara-negara maju, seperti AS maupun negara Eropa hanya di kisaran level 2% saja. Meskipun begitu, Lana menegaskan pertumbuhan ekonomi negara maju jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan Indonesia, terlihat dari produktivitas dan penciptaan lapangan kerja.
“Kalau pertumbuhan didorong tinggi, maka polanya itu memacu sektor yang capital intensive. Kalau itu terjadi, maka pertumbuhan tinggi itu rapuh. Jadi menurut kami, menjawab masalah sekarang adalah mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,” jelasnya.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6%-7% cukup ideal apabila diikuti dengan kualitasnya. Oleh karena itu, fundamental ekonomi nasional harus didominasi industri yang tradable, antara lain sektor pertambangan, pertanian dan pengolahan.
Sementara itu, program capres Jokowi terkait peningkatan eksplorasi dan eksploitas migas di dalam negeri dan luar negeri guna mengurangi impor minyak dinilai terlalu ambisius, dan membutuhkan waktu yang panjang.
Enny menilai pemerintah seharusnya mulai mengalihkan ketergantungan energi BBM ke energi alternatif dalam jangka panjang. Kalau tidak, sambungnya, Indonesia akan selamanya tersandera isu membengkaknya subsidi BBM.
Sekadar informasi, dalam Rancangan ABPN-Perubahan 2014, belanja subsidi BBM dan listrik bertambah Rp110 triliun itu karena melesetnya asumsi kurs rata-rata rupiah dari target awal Rp10.500 per dolar AS, dan lifting minyak sebesar 870.000 barel per hari.
Di samping itu, Enny berharap program pembangunan ekonomi dari pemerintah yang baru, dapat diarahkan untuk lebih menyelesaikan warisan pekerjaan rumah, dan melanjutkan program-program positif dari pemerintah sebelumnya.
Menurutnya, reformasi struktur perekonomian perlu terus dilakukan. Salah satunya dengan melanjutkan program percepatan pembangunan infrastruktur, terutama dalam mendorong hilirisasi industri dalam negeri.
“Paling dikeluhkan adalah efisiensi dari sistem logistik nasional. Selama ini daya saing kita terus terpuruk, karena biaya transportasi mencapai 24,5% terhadap GDP. Padahal, Malaysia hanya 13%, dan India sebesar 10%,” tuturnya.