Bisnis.com, JAKARTA - Saya tak akan bisa melupakan Desa Riam Adungan sedikit pun hingga hari ini. Desa itu terletak di Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Perjalanan melalu darat ditempuh sekitar 2 jam lebih dari Banjarmasin. Desa itu pula yang menjadi tempat pertama saya menyaksikan kawah raksasa hasil pertambangan batu bara pada 2 tahun silam.
Ada truk-truk tronton yang beroperasi. Alat berat pengeruk lahan bekerja siang dan malam. Atau cekungan tanah yang terbentang luas. Dari sana, saya memerhatikan bagaimana proses produksi batu bara diperoleh.
Kabupaten Tanah Laut memang menjadi salah satu area pertambangan di provinsi ini. Dari sana pula saya merenung, bagaimana Kalimantan Selatan—kampung halaman saya yang berlimpah sumber batu bara—selalu bermasalah dengan lingkungan dan pasokan listrik. Bahkan hingga hari ini.
“Setiap bulan atau setiap minggu, pasti ada mati lampu. Biasanya sampai 2 jam,” kata Rizqan Hidayat, warga Kota Banjarmasin. “Kami akan menyalakan genset, bahan bakarnya dari bensin dicampur oli.”
“Dalam 7 tahun tak ada perubahan. Mati lampu bahkan sampai empat hari berturut-turut,” ujar Fatma Sari, warga Desa Sungai Cuka, Kabupaten Tanah Bumbu. “Pagi mati terus sore menyala kembali. Malam, mati lagi sampai keesokan harinya.”
“Pemadaman listrik membuat peralatan elektronik lebih cepat rusak,” kata Berry Nahdian Forqan, warga Kota Banjarbaru. “Harus ada gerakan protes untuk tak membayar iuran listrik ke PLN.”
Kalimantan Selatan adalah provinsi terbesar kedua penghasil batu bara di Tanah Air, setelah Kalimantan Timur. Dari total produksi 380 juta metrik ton pada tahun lalu, provinsi tersebut menyumbang sekitar 138 juta ton.
Pada tahun ini, jumlah total komoditas tersebut diproyeksi mencapai 400 juta ton. Selain dua provinsi itu, penghasil lainnya adalah Sumatra Selatan dan Bengkulu. Potensi dan sumber daya batu bara di Kalimantan dan Sumatra juga relatif besar.
Data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan sedikitnya terdapat 120 miliar ton cadangan batu bara di seluruh Indonesia. Walaupun Kalimantan memasok produksi terbesar, demikian badan tersebut, namun cadangan terbanyak berada di Sumatra. Di balik masalah cadangan dan persoalan lingkungan, batu bara juga menyisakan problem lainnya. Dari transparansi hingga dugaan korupsi.
Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun kian mencengangkan.
Lembaga itu memaparkan sedikitnya 441 izin usaha pertambangan (IUP) dari total 845 IUP di Kalimantan Selatan, berstatus tumpang tindih dan tak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Ini dikenal dengan istilah clean and clear (CNC). KPK menemukan masalah terbesar terjadi pada dua kabupaten, yakni 194 IUP di wilayah Tanah Bumbu dan 147 di wilayah Tanah Laut. Provinsi itu tak sendirian.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan terdapat 10.918 IUP di seluruh Indonesia, yang hampir separuhnya bermasalah. Sekitar 6.041 berstatus CNC, sedangkan 4.877 tak memilik status CNC. Sejak awal tahun, KPK mendalami 12 provinsi penghasil komoditas tambang untuk mencegah kerugian negara lebih besar serta tindak pidana korupsi di sektor energi. Kalimantan Selatan, adalah salah satu di antaranya.
“Tumpang tindih terjadi pada 20.000 hektar kawasan hutan lindung,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi, dalam keterangan resminya. “Tak ada satu daerah pun di Kalimantan Selatan yang mencantumkan data jaminan pascatambang. Sedangkan untuk reklamasi, hanya 20 IUP dari 851 IUP, senilai lima miliar rupiah.”
Ini cukup mengejutkan. Dalam benak saya, batu bara adalah komoditas yang mendatangkan uang cepat dan besar sekaligus. Saya tak bisa lupa berapa banyak mobil mewah yang berseliweran di Banjarmasin. Berapa banyak pula properti super mahal di Banjarmasin—seperti yang disampaikan salah seorang pengembang lokal—yang mereka miliki.
Atau yang terakhir, bagaimana foto pesawat jet milik pengusaha batu bara terpampang dalam satu koran lokal. Temuan KPK, saya kira, memberi pesan yang kuat soal batu bara di Kalimantan Selatan. Kekayaan bagi segelintir pihak, kerusakan ekologis bagi lainnya.
Namun, ini pun membuat saya meyakini satu hal. Ekspansi batu bara tak bakal bisa besar jika tak didukung lembaga finansial.
Dua laporan mengenai besarnya dukungan investasi batu bara datang dari Inggris dan Norwegia. World Development Movement (WDM), organisasi asal London yang mengadvokasi problem kemiskinan global, menyatakan sedikitnya lima bank besar Inggris berinvestasi pada sektor batu bara di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sumatra Selatan.
Mereka terdiri dari Barclays, HSBC, Lloyds, RBS dan Standard Chartered. Sepanjang 2010—2012, total investasi yang dikucurkan melalui surat utang dan kepemilikan saham mencapai 170 miliar Euro. Khusus di Kalimantan Selatan, terdapat sedikitnya empat perusahaan batu bara raksasa yang beroperasi pada 11 wilayah. Tak hanya kalangan perbankan di Inggris.
BACA BAGIAN KEDUA: KENANGAN DARI RIAM ADUNGA: Bentuk Perlawanan Melalui Golput (Bagian II).