Bisnis.com, JAKARTA-Kalangan industri makanan dan minuman (mamin) menghendaki pembahasan produk halal harus mengacu pada kesepakatan antara dua negara atau Mutual Recognized Agreement (MRA). Pasalnya, masing-masing negara memiliki acuan berbeda mengenai kehalalan suatu produk.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Franky Sibarani mengatakan patokan produk halal atau tidak setiap negara berbeda pemahaman. Apalagi, ketentuan produk halal untuk sebuah makanan olahan akan sangat sulit.
“Bahan baku makanan olahan kan banyak. Nah, kalau pengusaha membeli [bahan baku] dari lima negara. Apakah kelima negara itu dapat menunjukkan kehalalan suatu produknya?,” ujar Franky, Jumat (7/3/2014).
Franky mengatakan industri mamin dari awal mengusulkan bahwa pelabelan produk halal tidak bersifat wajib, namun sukarela. Kendati sukarela, kata dia, bukan berarti produk mamin yang tanpa label halal diasumsikan tidak halal.
“Justru banyak makanan olahan yang dibuat oleh industri kecil dan menengah (IKM) dan rumah tangga itu halal. Karena persyaratan label halal membutuhkan biaya mahal, mereka biasanya tidak mengajukan [sertifikat halal],” terangnya.
Pihaknya khawatir pencantuman wajib sertifikat halal dapat mengancam keberlangsungan IKM mamin. Pasalnya, sebagian besar industri mamin di dalam negeri didominasi pelaku IKM.
Pencantuman sertifikat produk halal untuk produk mamin justru membuat industri mamin kalah dalam berdaya saing dengan produk impor. Apalagi menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, pencatuman label halal akan menjadi perdebatan panjang antar pengusaha mamin lintas negara. Pasalnya, standar halal dari masing-masing negara tidak sama.
“Kami mengharap pemerintah tidak mempersulit pengusaha mamin dalam negeri soal ini [sertifikat produk halal],” paparnya.
Mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) yang terancam molor, Franky tidak mau menyikapi terlalu jauh. Dia berkonsentrasi untuk mensupport industri mamin supaya tetap berproduksi dengan lancar ditengah gencaran produk mamin dari luar negeri.
Sebelumnya, serbuan produk halal dari luar negeri termasuk dari negara nonmuslim, diperkirakan semakin kencang menjelang pasar bebas ASEAN 2015.Namun, hingga kini salah satu benteng pengaman dari segi sertifikasi halal masih rapuh.
Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya mengungkapkan produk yang sudah bersertifikasi halal di Indonesia baru sekitar 20% dari jumlah produk yang beredar.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, angka ini terbilang rendah. Di Malaysia, pemenuhan sertifikasi halal sudah di atas 90%.
“Penuntasan masalah yang terkait dengan sertifikasi halal di Tanah Air sudah sangat mendesak. Karena menjelang pasar bebas, porduk halal dari negara lain akan menyerbu negara kita yang notabene adalah pasar potensial,” ujar Bambang.
Di Indonesia, sertifikasi halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sejak 2005 hingga akhir 2011, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOMMUI) telah menerbitkan setidaknya 5.896 sertifikat halal, dengan jumlah produk mencapai 97.794 item dari 3.561 perusahaan.
Angka tersebut diklaim naik jika digabungkan dengan sertifikat halal yang diterbitkan LPPOM-MUI daerah yang kini tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir, LPPOM-MUI telah mengeluarkan 13.136 sertifikat halal dari total produk yang beredar di Indonesia sejumlah 155.774.