Bisnis.com, JAKARTA – Pada pelaksanaan pasar penerbangan terbuka, berbagai pihak menyatakan Indonesia sebagai pasar terbesarnya.
Meski demikian, minimnya infrastruktur dan penegakan peraturan yang lemah mengakibatkan pelaku jasa di bidang penerbangan nasional kalah saing.
Padahal, seperti pernah disebutkan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia-INACA, tidak kurang dari 30% pangsa penerbangan Asia Tenggara berada di wilayah udara Indonesia.
Artinya, peluang besar itu mestinya bisa dimanfaatkan pengusaha di Indonesia, termasuk juga di sektor jasa penunjang penerbangan atau ground handling.
Hal serupa juga dialami PT Jasa Angkasa Semesta sebagai salah satu pelaku usaha di sektor jasa penunjang penerbangan.
Walau mengantongi sertifikasi internasional, pihak JAS mengaku masih belum mampu memperluas pasar di luar bandara operasinya.
Yoyok Priyowiwoho, Staff to Chief Executive Officer JAS, mengatakan di bandara-bandara nasional saja, pihaknya masih kesulitan untuk meraih pasar jasa.
Penyebabnya, banyak berseliweran usaha jasa serupa yang mengandalkan biaya layanan murah.
"Namun mereka memiliki standardisasi pelayanan yang rendah, bahkan tidak memenuhi standar keamanan," ujar Yoyok, Selasa (25/2/2014).
Semisal, terangnya, dalam pemarkiran pesawat, pelaku jasa yang umumnya tidak memegang sertifikasi internasional ini menggunakan angkutan penarik seadanya.
"Untuk menarik pesawat, mereka malah menggunakan mobil jenis kijang. Ini kan berbahaya," terang Yoyok.
Dia menjelaskan untuk pelaku jasa penunjang penerbangan, selama ini terdapat izin dari Kementerian Perhubungan, diaudit tiap lima tahun, tetapi otoritas bandara seringkali lalai mengawasi.
Hal itu berbeda dengan pemegang sertifikasi internasional, di mana tiap tahun terdapat audit independen.
"Mekanismenya, maskapai yang bukan klien, diminta untuk menilai kinerja kami," ujar Yoyok.
Karena itu, Yoyok menerangkan, penegakkan aturan dan standardisasi harus digencarkan pemerintah.
"Harus ada peraturan mengenai sertifikasi, terlebih standardisasi pelayanan sesuai aturan internasional," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti mengatakan pihaknya sejauh ini telah menerapkan aturan yang ketat bagi pelaku jasa tersebut. Peraturan itu pun tertuang pada izin operasional.
Di lain sisi, dia menilai semua perizinan memadai bila dilaksanakan.
Sedangkan untuk sertifikasi internasional, pihaknya tidak mengharuskan pelaku jasa penunjang memilikinya.
"Kalau yang sertifikasi IATA, itu kan cuma dua, satunya memang JAS. Tetapi kami juga mengeluarkan aturan serupa, tinggal dilaksanakan saja. Sertifikasi internasional tidak diharuskan," terang Herry Bakti kepada Bisnis, Selasa.