Bisnis.com, JAKARTA--Kenaikan daya beli masyarakat menengah atas serta kemudahan akses pembiayaan kesehatan melalui asuransi membuat pebisnis kian gencar menawarkan layanan kesehatan kelas premium.
Berdasarkan data BKPM, realisasi investasi asing industri instrumen kesehatan melonjak hingga mencapai angka US$26,1 juta pada 2013 jika dibandingkan dengan 2012 yang hanya US$3,4 juta. Angka tersebut memang tidak setinggi 2011 yang mencapai US$41,9 juta. Adapun investasi dari pemodal dalam negeri mencapai Rp210 miliar pada 2013. Selain itu, lonjakan investasi juga terjadi pada industri kimia dan farmasi.
Tingginya investasi instrumen kesehatan tersebut diakui Ketua umum Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Sutoto. “Saat ini, investasi penyediaan fasilitas kesehatan memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan,” katanya kepada Bisnis, Senin (24/2/2014).
Peningkatan tersebut, jelasnya, lantaran kebutuhan layanan kesehatan bermutu dengan tambahan layanan kenyamanan semakin tinggi seiring dengan banyaknya jumlah kelas menengah di Tanah Air. “Kelas menengah kita sudah mencapai 45 juta orang. Sebelumnya, mereka menggunakan fasilitas kesehatan di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.”
Meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia, menurutnya, membuat pebisnis kian ekspansif melakukan penetrasi pasar layanan kesehatan dengan membangun jaringan rumah sakit premium di seluruh Tanah Air, seperti Grup Lippo, Grup Mayapada, Grup Awal Bros, Grup Ciputra hingga Grup Omni.
Berdasarkan pantauan Persi, dari taun ke tahun jumlah rumah sakit premium mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun jumlahnya tidak lebih dari 100 unit dari 2.201 unit rumah sakit di Indonesia.
Marketing Manager Rumah Sakit Omni Grace Yarlen Hilza mengatakan Seperti halnya Omni yang saat ini menyasar pasien dari kelas ekonomi menengah keatas. Pasien rata-rata memiliki kemampuan kelas B+ hingga A+.
“Klasifikasi tersebut didasarkan pada layanan yang selama ini kita berikan,” katanya kepada Bisnis, Senin (24/2).
Rumah sakit Omni, jelasnya, juga banyak menerima pasien yang menjadi peserta asuransi ataupun pasien yang berobat menggunakan fasilitas perusahaan. “Pembiayaan kesehatan omni, memang didominasi dari asuransi dan korporat,” katanya tanpa merinci persentase besaran pembiayaan tersebut.
Direktur Utama Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta mengakui ceruk bisnis rumah sakit mewah memang kian terbuka menyusul banyaknya kelas menengah di Tanah Air. “Sudah banyak, pebisnis nonkesehatan mulai melirik bisnis penyediaan layanan kesehatan mewah. Saat ini pola tebaran investasinya bukan hanya seputar Pulau Jawa. Namun sudah merata di seluruh Tanah Air,” katanya kepada Bisnis.
Namun investasi yang tergolong padat modal tersebut harus segera diatur khusus oleh pemerintah untuk melindungi pasien lantaran sudah banyak terjadi orientasi rehabilitasi sudah beralih drastis kearah bisnis semata. “Banyak pebisnis yang menargetkan penggunaan suatu alat kesehatan hanya untuk mengejar balik modal.”
Menurutnya, kenyamanan disamping tujuan utama kesembuhan boleh saja ditawarkan. Namun jangan sampai pasien justru menjadi korban dari oknum rumah sakit yang mengutamakan bisnis jika dibandingkan dengan orientasi rehabilitasi. “Sudah banyak terjadi, pasien justru jadi korban. Namun hingga saat ini belum ada sikap dari pemerintah terkait perubahan orientasi tersebut.”