Bisnis.com, DENPASAR—Pelaku industri kelapa sawit meminta pemerintah menunda penerapan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang berakhir pada 31 Desember 2014.
Hal ini terkait dengan masih adanya sejumlah kendala dalam penerapan sertifikasi ISPO, terutama menyangkut kesiapan auditor dan terbatasnya lembaga sertifikasi.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joefly Bachroeny mengemukakan pemerintah diminta lebih bijak untuk melihat kendala dalam penerapan sertifikasi ISPO terutama masih banyaknya kendala dalam implementasi memperoleh sertifikasi itu.
“Yang jelas, kami mendukung terhadap upaya menghasilkan produk yang berkelanjutan. Namun, penerapan sertifikasi ISPO dengan deadline per 31 Desember 2014 yang bersifat mandatory harusnya dilihat secara bijaksana. Kami siap saja, tetapi ada keterbatasan terutama di lembaga auditnya,” ujarnya di sela-sela International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) 2014, Kamis (13/2/2014).
Sebagai gambaran, dari total luas perkebunan sawit 9,2 juta hektare yang mencakup 2.400 perkebunan, sebanyak 49% dikuasai oleh kepemilikan swasta, 43% oleh kepemilikan small holder, dan BUMN (8%).
Menurut Ketua Harian Komisi ISPO Rosediana Suharto, dari total 2.400 usaha perkebunan, baru sekitar 40 kebun saja yang telah memperoleh sertifikasi ISPO, sedangkan yang masih diproses sebanyak 153 pemohon lagi.
Masih sedikitnya jumlah usaha yang tersertifikasi ISPO ini, lanjutnya, karena para pengusaha lebih cenderung menggunakan sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), selain memang menyangkut legalitas.
“Bagi yang belum melakukan sertifikasi, sebaiknya segera dilakukan sertifikasi saat ini. Bila tidak, waktunya tidak ada lagi. Pembuatan sertifikasi membutuhkan waktu 3-6 bulan. Bila tidak ada sertifikasi, mereka akan terkena sanksi, ISPO bersifat mandatory, dan deadline nya per 31 Desember 2014,” kata Rosediana.