Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BISNIS.COM, JAKARTA--Aliansi Kebun untuk Rakyat (Akur) menyampaikan sedikitnya tujuh kritik  yang harus diperhatikan Kementerian Pertanian dalam merevisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 26/Permentan/OT. 140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
 
Hal itu disampaikan Andi Muttaqien dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), salah satu anggota Akur. Lembaga lainnya adalah ICW, Sawit Watch,  dan Serikat Petani Kelapa Sawit.
 
Sejumlah problem adalah soal pembatasan kepemilikan perkebunan untuk grup perusahaan. Pasal 15 ayat (3) draf revisi menyebutkan bahwa pembatasan Hak Guna Usaha (HGU) sektor perkebunan seperti sawit sebesar 100.000 hektar  untuk seluruh Indonesia. 
 
Namun, paparnya, pembatasan itu tidak berlaku bagi BUMN, BUMD, koperasi dan perusahaan perkebunan dengan status terbuka yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat.
 
"Hal ini tentu saja omong kosong, karena dengan pengecualian tersebut, tetap memungkinkan monopoli korporasi, karena semua bentuk perusahaan perkebunan saat ini hanya dalam bentuk tersebut, kecuali perkebunan rakyat," katanya dalam siaran pers di Jakarta, yang dikutip hari ini, Kamis (20/6/2013).
 
Selain itu, sambungnya, draf itu juga mengatur soal pemberian izin dua kali lipat jika perusahaan memohonkan izinnya ke Papua dan Papua Barat. Misalnya permohonan 20.000 hektar untuk masing-masing provinsi, maka lahan yang diperbolehkan mencapai 40.000 hektar. Dia menuturkan hal itu akan memperbesar perampasan lahan di Papua.
 
Masalah lainnya adalah Pasal 19 huruf (K) tentang kewajiban perusahaan untuk menyatakan sendiri perusahaan perkebunan apakah mandiri atau bagian dari grup. Pernyataan itu juga terkait apakah lahan sudah melebihi batas luasan atau belum. Menurut Akur, hal ini membuat pemerintah sengaja mengingkari kewajibannya untuk mengawasi setiap usaha perkebunannya.
 
Masalah lainnya, kata Andi, adalah syarat masyarakat yang dibukakan  kebunnya oleh perusahaan. Salah satu syaratnya adalah soal kesanggupan mengelola perkebunan. "Syarat ini akan menyulitkan masyarakat lokal yang justru selama ini melakukan pengelolaan kebun dan pertaniannya dengan cara tradisional," katanya.
 
Akur juga mengkritik masalah kesesuaian perencanaan pembangunan perkebunan dengan rencana daerah karena berimplikasi pada penempatan secara sembarang. Hal itu karena disebabkan oleh belum selesainya perencanaan makro pembangunan wilayah. 
 
Dua masalah lainnya adalah sosialisasi permohonan izin di suatu wilayah yang terbatas pada kantor kecamatan serta adanya kemungkinan operasi  perusahaan tanpa HGU. "Hal ini memungkinkan adanya perampasan terhadap hak masyarakat, karena persoalan alas hak sudah diselesaikan sebelum beroeprasi," kata Andi.
 
Khusus masalah terakhir, draf revisi itu menyatakan pemerintah memberikan batas waktu 2 tahun untuk perusahaan menyelesaikan hak alas tanahnya. Masalahnya, kemungkinan untuk beroperasi tanpa alas tanah masih bisa terjadi.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Sutarno
Sumber : Anugerah Perkasa
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper