JAKARTA: PT Perusahaan Gas Negara Tbk disarankan membangun infrastruktur pipa gas di luar Sumatra dan Jawa jika ingin menambah margin usaha, tanpa mesti keberatan dengan naiknya harga gas di hulu.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan harga gas di hulu tetap tidak bisa dipertahankan terlalu rendah di level US$1,85 per MMBtu, seperti halnya harga gas yang dibeli PGN dari ConocoPhillips (Grissik) sebelum akhirnya direvisi menjadi US$5,6 per MMBtu.
"Intinya kenaikan harga di hulu tetap lebih diperlukan, untuk menambah penerimaan negara. Dengan bisnis PGN selama ini, sebenarnya mereka sudah untung tanpa membangun infrastruktur pipa," ujarnya ketika dihubungi Bisnis hari ini, Minggu (15/7/2012).
Kontrak gas antara PGN dan COPI sebesar US$1,85 per MMBtu ditandatangani pertama kali pada 2005 dan berlangsung jangka panjang hingga 2023. Pada 2008, gas pertama kali mengalir.
Dalam perjalanannya, pada 2012 tiba-tiba BP Migas mereview harga dan menyarankan adanya amandemen. Akhirnya, harga direvisi menjadi US$5,6 per MMBtu.
Amandemen kontrak untuk pasokan gas sekitar 400 BBtud disetujui oleh PGN dengan harapan adanya kepastian pasokan, mengingat sebelumnya pasokan gas terus decline. Di sisi lain, produser gas (KKKS) berjanji lebih aktif memproduksi potensi-potensi gas baru.
Menurut Pri, amandemen kontrak sah-sah saja dilakukan selama ada kesepakatan kedua belah pihak. Apalagi, amandemen kontrak sudah disetujui oleh Menteri ESDM kala itu. Pri Agung menegaskan harga yang terlalu rendah di hulu tidak menarik untuk merangsang produksi gas nasional, apalagi jika harganya dibandingkan dengan harga ekspor yang sudah tinggi.
"Kalau PGN ingin jadi lebih sehat, reposisi PGN tetap diperlukan untuk mendorong agar PGN lebih ekspansif dalam mencari keuntungan dengan cara memperluas pembangunan jaringan pipa transmisi dan distribusinya ke seluruh wilayah Indonesia," ujarnya.
Menurut Pri, dengan posisi PGN yang saat ini merangkap sebagai transporter sekaligus trader, tanpa menambah infrastruktur pun PGN sudah bisa mendapatkan laba yang besar. Dengan posisi yang sekarang, ini tidak mendorong PGN untuk membangun infrastruktur di seluruh Indonesia.
"Jadi, itu tidak sehat bagi PGN sendiri mau pun bagi sektor energi nasional dalam mendorong pemanfaatan gas di Tanah Air," ujarnya.
Seperti diketahui, PGN meminta tambahan waktu setidaknya hingga 10 tahun sebelum direposisi dari transporter menjadi trader, yakni setelah PGN bisa membangun infrastruktur pipa di Tanah Air.
Sekretaris Perusahaan PGN Heri Yusup mengatakan jika reposisi dilakukan saat ini juga, industri sebagai konsumen akhir gas bisa semakin terbebani dengan harga gas yang akan meningkat, seiring dengan harga hulu yang juga meningkat.
Pasalnya, jika ada reposisi maka rantai bisnis gas menjadi semakin panjang, mulai dari hulu (KKKS migas) ke badan usaha niaga (trader), lalu ke transporter (PGN), kemudian ke distributor, baru ke industri.
Pasca reposisi, industri harus membayar mulai dari margin trader, toll fee dari transporter (PGN), hingga distribution cost dari distributor. Tentunya hal ini membuat adanya high cost ekonomi bagi pihak industri. (sut)