JAKARTA: Himpunan Pengusaha Muda Indonesia menilai promosi investasi yang digencarkan pemerintah tidak efektif menarik minat pemodal karena persoalan paling mendasar daya saing Indonesia tidak kunjung mengalami perbaikan.
Organisi pengusaha kaum generasi muda tersebut bahkan menilai daya saing mengalami penurunan serta diperparah kemampuan lobi juga terus melemah. Karena itu, tidak heran jika perusahaan Research In Motion (RIM) dan BOSH lebih memilih Malaysia dan Singapura.
Harry Warganegara, Ketua Bidang Perdagangan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), menjelaskan kelemahan Indonesia untuk lobi-lobi misalnya, terjadi pada tingkat korporasi yang seharusnya tidak terjadi.
”Jadi, percuma kita melakukan promosi gencar-gencaran kalau perbaikan ke dalam tidak terjad. Ini menandakan lobi-lobi kita juga sangat lemah,” kata Harry Warganegara kepada media dalam keterangan resminya, hari ini.
Yang lebih mencengangkan, kata Harry, kedua negara tetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura, justru menawarkan Indonesia kepada investor sebagai pangsa pasar menarik bila berinvestasi di Malaysia dan Singapura.
“Kondisi ini membuat investor seperti RIM, BOSH dan perusahan pengolahan kakau Barry Callebout datang ke Singapura atau Malaysia. Sebab daya saing dalam negeri mereka menjanjikan, termasuk pasar besar Indonesia yang dekat dengan mereka. Dengan kata lain, Indonesia masuk dalam paket tawaran daya saing mereka. Ini kan menyakitkan.”
Dia menambahkan tak hanya RIM (produsen Blackberry/BB) atau BOSH yang menginginkan Malaysia atau Singapura. Hampir semua industri memilih membangun pabrik atau kantornya di negara jiran itu.
“Adapun Indonesia hanya menjadi pasar dan penyedia bahan baku. Barry Callebout membangun pabrik coklat di Singapura, padahal negara ini tidak punya satu pun pohon kakao,” ungap Harry Warganegara.
Hal sama terjadi pada industri lainnya, yakni sebagian besar industri telekomunikasi, informasi, mikro chip, dan komunikasi dunia lebih memilih Malaysia dan Singapura sebagai basis industri mereka di Asia Tenggara, meski pasar terbesar ada di Indonesia.
Hipmi menyambut upaya pemerintah memberikan disinsentif atas produk yang memiliki daya produksi besar dan tidak membangun pabrik di Indonesia. Meski demikian Hipmi melihat pendekatan ini tidak akan efektif.
Sebab, ketergantungan konsumen Indonesia terhadap produk-produk itu sangat besar. Contohnya adalah BB. Harganya dinaikkan berapa pun masyarakat tetap akan membeli BB. Sebab konsumen sudah sangat tergantung BB, sementara pesaing gadget satu ini belum ada.
“Selain itu tingkatkan pula lobi-lobi non formal dengan investor luar. Selama ini kita selalu formal sehingga yang ditawarkan kepada investor tidak konkret,” tukas Harry Warganegara. (arh)