Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Devaluasi rupiah dinilai sebagai proses pemiskinan

DEPOK: Devaluasi rupiah yang sangat besar selama 65 tahun terakhir dianggap sebagai proses pemiskinan yang sistematik.Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya Bambang Ismawan menjelaskan pada era 1950-an, Indonesia mengalami sanering (gunting Sjafruddin) sebesar

DEPOK: Devaluasi rupiah yang sangat besar selama 65 tahun terakhir dianggap sebagai proses pemiskinan yang sistematik.Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya Bambang Ismawan menjelaskan pada era 1950-an, Indonesia mengalami sanering (gunting Sjafruddin) sebesar 50% dari uang Rp1.000 menjadi Rp500. Pada 1966, nilai Rp1.000 disusutkan menjadi Rp1 dan devaluasinya 100.000%.Pada 1967, nilai US$1 setara dengan Rp84-Rp100, dengan rata-rata Rp90. Pada 2010, nilai US$1 setara dengan Rp9.000 maka devaluasinya 10.000%. Bambang menyebutkan jika data-data tersebut dikalikan semua, maka devaluasi Indonesia selama 65 tahun terakhir mencapai 50 miliar persen."Keadaan ini jelas merupakan proses pemiskinan yang sistematik," ujar Bambang, dalam seminar bertema Indonesia Tanpa Kemiskinan, di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hari ini. Dia menjelaskan pemiskinan secara sistematik yang dimaksudkan adalah kebijakan tersebut tetlah memiskinkan orang. Contohnya, jika seseorang punya uang Rp1.000 menjadi Rp1, maka nilai kekayaannya merosot. Menurut dia, kondisi saat ini sudah dikoreksi oleh Undang-Undang Bank Indonesia. BI kini berfungsi khusus untuk menjaga nilai mata uang yang mulai stabil. "Peran BI untuk menjaga itu lumayan berhasil, tetapi kita terlambat 65 tahun. Kesalahan ya campur aduk, misalnya dulu Indonesia tidak memiliki sistem pemerintahan yang benar," katanya.Dalam kesempatan yang sama, Komisaris PT Pertamina Sugiharto mengatakan berdasarkan pengalaman Indonesia dalam upaya mengentaskan kemiskinan, terlihat laju kemiskinan di Tanah Air bergerak lambat, tidak sinkron dengan peningkatan anggaran secara signifikan."Diperlukan pendekatan baru untuk mengefektifkan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Langkah awalnya dengan menyusun ulang peta kemiskinan dan permasalahan sosial yang dihadapi Indonesia," ujar Sugiharto. Menurut dia, penyusunan ulang tersebut bisa berupa menerapkan batasan kemiskinan yang berlaku secara internasional seperti yang telah ditetapkan oleh Bank Dunia. Sugiharto menjelaskan jika mengacu pada kriteria kemiskinan oleh Bank Dunia yang dipakai secara internasional, maka angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan World Development Report 2011, dari data hasil survei yang dilakukan pada 2007, jumlah penduduk yang hidup dengan pengeluaran di bawah US$1,25 per hari mencapai 29,4% atau sekitar 66,34 juta jiwa. Jumlah penduduk yang hidup dengan penghasilan atau pengeluaran di bawah US$2 per hari mencapai 60% atau sekitar 135,39 juta jiwa. Menurut dia, angka kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik dinilai tidak menggambarkan kebutuhan hidup minimal rakyat yang sesungguhnya. Sugiharto menjelaskan dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang biasa digunakan oleh negara-negara yang secara ekonomi jauh tertinggal dibandingkan Indonesia, seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Sieera Leone, dan Gambia. Berdasarkan data BPS dalam kurun waktu 2006-2010, tingkat kemiskinan secara berturut-turut sebesar 17,8% (2006), 16,6% (2007), 15,4% (2008), 14,2% (2009), dan 13,3% (2010). (yes)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Errol Poluan
Editor : Mursito

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper